Senin, 01 Agustus 2016

Aliran Anugerah





Nelly Ifada. Nelly memiliki makna “Yang Mengalir” dan Ifada yang bermakna “Anugerah”. Saya mengartikannya dengan “Anugerah yang Mengalir” atau “Aliran Anugerah”. Setidaknya itulah harapan besar orang tua saya atas kelahiran anak keempat mereka di tahun 1997 lalu. Saya lahir di Magelang, Jawa Tengah tepatnya pada hari Kamis Wage tanggal 11 September. Saya merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Ragil (bahasa Jawa:  anak terakhir) sulit untuk dipisahkan dari kata “dimanja” di lingkungan keluarganya. Saya bersyukur bisa mendapat begitu banyak kasih sayang dari orang tua saya, Muh Aslam dan Rohmah. Begitu pula dengan ketiga kakak saya, si sulung perempuan dan dua kakak laki-laki, mereka juga yang senantiasa hadir menyayangi dan melindungi saya. 

Saya lahir, dibesarkan dan menghabiskan hampir seluruh waktu dalam hidup saya di sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Magelang. Daerah itu disebut Salaman. Salaman dalam bahasa Jawa berarti berjabat tangan. Terdengar asing ketika suatu daerah dinamai demikian. Saya pun tidak tahu asal-usul pemberian nama tersebut. Rumah saya terletak tepat di belakang Terminal Salaman. Ya di daerah Terminal. Banyak orang yang langsung berpandangan negatif dengan daerah tersebut. Kekerasan, minuman keras dan judi sudah pernah terjadi disini. Setidaknya sampai saat saya tumbuh dewasa, saya tak pernah mendengar hal-hal itu terjadi lagi disini. Alhamdulilah.

Saya mengkhatamkan pendidikan saya dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di Salaman. Hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah. Saya merupakan siswi dengan prestasi akademik lumayan di sekolah walaupun tak pernah mendapat juara satu saat kenaikan kelas. Saya bangga dengan setiap hasil kerja keras saya. Mencontek adalah perbuatan yang paling saya hindari saat itu. Rasanya hampa saat kita mendapat hasil yang bagus namun dibalik itu terdapat kebohongan.

Menginjak masuk SMA, saya memilih untuk bersekolah di Kota Magelang. Saya dan beberapa yang lain menjadi anak kabupaten yang memilih bersekolah di kota. Alhamdulillah saya bisa menjadi bagian dari sekolah yang berhasil meraih peringkat satu se Jawa Tengah kala itu. Rasa bahagia dan takut membaur menjadi satu. Bahagia karena bisa bersekolah di tempat yang dimimpikan banyak orang. Sementara disisi lain ada rasa takut bergaul dengan anak-anak kota yang identik dengan hedonism.  Ya setelah saya menjalaninya, memang mereka sangat addict  dengan barang-barang branded dan kehidupan yang glamour. Perilaku mereka yang seperti itu sudah seakan menjadi virus bagi orang-orang kabupaten seperti saya. Jika tidak berhasil membaur maka akan tersingkir. Tergiur untuk melakukan hal yang sama pasti pernah saya rasakan. Namun disisi lain, saya bangga pernah menjadi bagian dari sekelompok orang hebat itu. Mereka sangat kompetitif dalam meraih prestasi akademik maupun non akademik. Sekumpulan orang dengan ide-ide kreatif yang mampu mencetak begitu banyak penghargaan di tingkat kota maupun provinsi. Sayangnya saya belum bisa meniru jejak mereka kala itu. 

Semasa SMA, saya menemui beberapa beda pendapat dengan Bapak saya. Menjelang kenaikan kelas sebelas, saya berniat untuk memilih jalur ilmu sosial sebagai konsentrasi saya. Namun Bapak menginginkan anak bungsunya ini masuk jalur ilmu pengetahuan alam. Dengan jalur itu Bapak ingin anaknya lebih mudah masuk universitas. Awalnya saya menolak karena itu memang berbeda dengan minat dan kemampuan saya. Apalagi sejak awal orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang entrepreneur lalu mengapa saya tidak mengambil konsentrasi yang senada dengan itu. Akhirnya saya memilih menuruti pilihan Bapak. Setelah itu saya belajar keras agar bisa mewujudkan keinginan Bapak karena bisa dibilang masuk jalur IPA di sekolah itu tidak mudah. Alhamdulillah saya berhasil melaluinya. Diluar dugaan saya, prestasi saya justru meningkat dengan memasuki jalur itu. Awalnya memang sangat susah untuk beradaptasi dengan mata pelajaran yang bahkan sama sekali saya tidak sukai itu. Saya sebut ini sebagai “Ridha Orang Tua”. Ketika orang tua sudah ridha dengan apa yang anaknya lakukan maka Allah juga akan ridha terhadapnya. Belajar sains justru merupakan sebuah tantangan dan hal yang menyenangkan bagi saya.

Perdebatan mulai timbul kembali ketika saya hendak memutuskan untuk memilih jurusan kuliah ketika menjelang UN. Bapak ingin anaknya memilih jurusan berbau ekonomi agar selanjutnya bisa meneruskan bisnis keluarga. Ya awalnya saya memang sudah tau bahwa saya harus memilih jurusan itu setelah masuk ke jalur IPA. Namun sepertinya saya sudah jatuh cinta pada ilmu alam. Kala itu saya ingin masuk jurusan Arsitektur. Sungguh berbeda dengan pilihan keluarga saya. Sejak kecil saya gemar menggambar dan hobi ini terus berlanjut hingga saya dewasa. Saya suka seni dan menghitung angka-angka juga merupakan hal yang menantang bagi saya. Seperti sebelumnya, saya juga memilih untuk mengikuti pilihan orang tua. Sedih itu pasti. Dibully karena merebut lahan anak IPS juga saya pernah alami. 

Mendaftar masuk perguruan tinggi merupakan pengalaman yang luar biasa. Air mata banyak bercucuran menemani perjuangan saya. Bapak tidak ingin anaknya belajar jauh dari rumah akhirnya hanya Yogyakarta yang bisa menjadi tujuan saya. Tiga kali saya ditolak masuk jurusan dari universitas yang saya tuju. Saat itu memang bisa dibilang saya masih setengah hati menjalankan pilihan orang tua saya. Berbeda dengan memilih konsentrasi di SMA, saya begitu memperjuangkan pilihan itu agar terwujud walaupun saya tidak yakin akan menyukainya. Pada akhirnya saya gagal. Kegagalan paling pahit yang pernah saya rasakan. Merasa gagal untuk mewujudkan pilihan orang tua di jurusan dan universitas yang mereka inginkan. Saya menyadari bahwa sebuah keikhlasan juga diperlukan dan bukan hanya tindakan semata.

Akhirnya sekarang saya menuntut ilmu di Kampus Pendidikan dengan tetap mengambil konsentrasi yang orang tua saya inginkan. Bisa dibilang sampai sekarang saya masih belajar untuk mencintai keputusan ini. Namun inilah pilihan dari Allah. Bukan pilihan saya maupun kedua orang tua saya. Sekarang saya menjadi mahasiswi sekaligus santri di Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Alhamdulillah keduanya bisa berjalan lancar. IPK yang lumayan dan mengimbanginya dengan belajar ilmu agama. Harapan saya sekarang, saya bisa mengusahakan ilmu dunia dan akhirat dengan beriringan.

Semester empat lalu, saya juga menyalurkan hobi saya di bidang desain dengan usaha desain kecil-kecilan bersama dengan beberapa teman kuliah.  CORArtwork, itulah nama usaha kecil-kecilan kami. Ya sejak SMA, saya mulai tertarik dengan aplikasi desain grafis. Ketika dibangku kuliah, saya mulai menggunakannya kembali untuk keperluan organisasi. Akhirnya sekarang hobi itu menjadi ladang bisnis kecil-kecilan. Saya memang masih amatir. Saya merasa puas jika desain yang saya rancang bisa disukai pemesan dibanding memperhitungkan profit yang akan saya terima. Ya bisa dibilang saya masih lebih berjiwa seniman ketimbang seorang entrepreneur.

Hingga detik ini banyak pelajaran kehidupan yang dapat saya ambil dari perjalanan ini. Entah hari esok apa yang akan saya lakukan. Saya berharap Allah terus meridhai langkah yang saya pilih. Semoga apa yang saya lakukan bisa bermakna baik untuk orang-orang di sekitar saya layaknya aliran anugerah yang terus mengalir tanpa henti.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar