Rabu, 19 November 2014

Ujian Tengah Semester Perdana




Beberapa minggu lalu, saya dan teman-teman mahasiswa baru yang lain telah selesai melaksanakan UTS perdana kami. Tentu hal ini menjadi pengalaman baru. Banyak hal yang terasa berbeda antara bangku perkuliahan dan bangku sekolah. Mungkin perbedaan yang sangat jelas adalah tak adanya pengaturan jadwal UTS di UNY. Berbeda dengan universitas lain seperti UGM dan UIN yang telah menggunakan sistem jadwal. Apalagi ketika di bangku sekolah, sistem jadwal selalu digunakan. Saya heran mengapa UNY tidak menggunakan jadwal untuk pelaksanakan UTS dengan hanya memberi rentang waktu selama dua minggu saja. Memang dalam pengaturannya akan sedikit rumit tapi bukankah jadwal akan memudahkan mahasiswa untuk mengatur kegiatan belajar mereka. Teman-teman asrama saya yang kuliah di UIN, mereka bisa berangkat siang dan pulang lebih awal ketika UTS. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat karena akan mempermudah dalam membagi waktu belajar. Dibanding kita yang harus kuliah full seperti hari-hari biasa lalu malam harinya kita harus belajar untuk UTS di esok hari. Disisi lain dalam UTS kemarin, sempat dua kali terjadi miss communication antara dosen dan mahasiswa mengenai pelaksanaan UTS. Sebelumnya telah terjadi kesepakatan di antara kami untuk melaksanakan UTS di minggu kedua. Akan tetapi, tiba-tiba di minggu pertama saat perkuliahan berlangsung, dosen mengumumkan bahwa hari itu UTS dilaksanakan. Tentu saja saya dan teman-teman belum menyiapkan apa-apa.
Hal kedua yang terasa berbeda adalah berlakunya sistem Open Book. Saat UTS di bangku sekolah, jangan harap sistem ini bisa diperbolehkan. Akan tetapi, saya lebih senang menggunakan sistem Close Book karena pasti bobot soal yang diberikan akan lebih rendah dari pada Open Book. Mungkin teman-teman yang lain akan lebih senang dengan sistem Open Book karena kita tak perlu repot-repot belajar. Akan tetapi menurut saya, percuma saja karena bobot soal ketika Open Book akan lebih tinggi dan biasanya materinya secara tersurat tidak akan ditemukan di buku. Jadi kita harus menyimpulkannya secara tersirat.
Perbedaan ketiga adalah jarak bangku dalam kelas yang berdempetan. Saya ingat bahwa ketika UTS di SMA, meja masing-masing anak akan dipisahkan sejauh satu meter sedangkan sewaktu di SMP, murid kelas 1 akan duduk bersebelahan dengan kelas 2 sehingga masing-masing anak pada tingkatan yang sama akan terhalang anak lain yang berbeda tingkatan jadi kegiatan contek-mencontek bisa diminimalisir. Saya bukan anak yang suka mencontek maupun diconteki karena pengalaman buruk sewaktu UN SD yang pernah saya alami. Saat itu saya memberi contekan kepada teman saya dan sewaktu pengumuman justru saya mendapatkan nilai lebih rendah dari teman saya itu. Sejak saat itu, saya tidak suka mencontek ketika ujian hingga saya SMA. Namun semasa UTS kemarin, bodohnya saya karena saya sempat berpikir kalau mencontek terkadang juga diperlukan. Seperti sewaktu UTS Akuntansi dilaksanakan, UTS Akuntansi seharusnya dilaksanakan pada minggu kedua akan tetapi tiba-tiba dilaksanakan pada minggu pertama. Saya belum ada persiapan sama sekali dan dengan basic IPA yang saya miliki, saya masih dalam tahap mempelajari akuntansi secara dasar. Dan ketika dihadapkan dengan kondisi seperti itu, bodohnya saya yang tak percaya dengan kemampuan saya sendiri. Melihat teman-teman lain yang mulai saling berdiskusi. Saya pun melakukan demikian. Saya merasa menjadi orang yang munafik.
Saya merasa mengkhianati diri saya sendiri di UTS perdana ini. Beberapa mata kuliah tidak saya kerjakan dengan hasil pemikiran saya sendiri. Saya seperti bukan saya yang dahulu. Dulu semasa sekolah, sesusah apapun soal ulangan yang saya hadapi maka insyaAllah saya mengerjakan murni dengan kemampuan saya. Saya pikir percuma ketika saya mendapat nilai bagus akan tetapi dari hasil mencontek dan akan lebih baik mendapatkan nilai standar tapi menggunakan otak kita sendiri. Saya merasa seperti terjadi kemunduran pada diri saya. Saya menyesal melakukan hal itu dan insyaAllah saya berkomitmen untuk tidak melakukannya lagi ketika ujian. Amin!
Saya berharap bisa mendapat nilai yang bagus di UTS kemarin walaupun proses yang saya jalani sungguh mengecewakan. Saya berharap bisa mengambil pelajaran dari UTS perdana ini dan semua sisi buruknya bisa saya hilangkan untuk tidak saya lakukan di UAS yang akan datang. Amin! Fighting!

Seberapa Dekat Hubungan Saya dengan Orang Tua




Bapak saya bernama Muh Aslam dan ibu saya bernama Rohmah. Jika ditanya mengenai sejauh mana kedekatan saya dengan mereka, jujur saya agak bingung untuk mulai menjelaskannya. Akan tetapi, satu hal yang saya yakini bahwa saya sangat bersyukur menjadi anak kandung mereka.
Muh Aslam adalah seseorang yang selama 17 tahun ini saya panggil dengan sebutan “Bapak”. Menurut saya, beliau bukan hanya memerankan figur seorang bapak akan tetapi beliau juga merangkap posisi sebagai seorang sahabat. Beliau memang cenderung memiliki cara yang “keras” dalam mendidik anak-anaknya. “Keras” dalam hal ini bukan berarti menggunakan kekuatan fisik akan tetapi ketegasan yang dilandasi dengan komitmen kuat. Walaupun bapak adalah pribadi yang keras tapi beliau juga punya sisi lembut layaknya seorang ibu. Dari luar memang bapak kelihatan seperti acuh tak acuh akan tetapi sebenarnya beliau peduli dan memikirkan segalanya. Ya menurut saya, bapak adalah orang tua yang unik. Suatu ketika saya bisa tertawa terkekeh mendengar guyonan beliau namun di waktu yang berbeda, saya bisa menangis tersedu melihat ketulusan sikap beliau.
Saya dan bapak sering mengalami beda pendapat. Sewaktu kelas X, saya berkeinginan mengambil program studi ilmu sosial sebagai langkah lanjutan saya. Akan tetapi keputusan tersebut ditolak oleh bapak saya. Saya bahkan sampai harus berganti angket pilhan jurusan sebanyak tiga kali karena bapak saya tetap tak mau menandatanginya. Bapak ingin saya melanjutkan ke program studi ilmu alam karena “konon” akan lebih gampang ketika akan masuk bangku perkuliahan. Sempat tersirat di pikiran saya bahwa keputusan bapak itu benar-benar tidak adil. Dalam hal ini, saya lah yang akan menjalani semuanya dan seharusnya saya lah yang punya hak untuk memilih. Dan akhirnya keputusan yang saya ambil adalah melingkari tulisan “Ilmu Pengetahuan Alam”  yang ada di angket. Saya pasrah. Baiklah, asalkan orang tua senang. Tantangan selanjutnya yang harus saya hadapi adalah pelajaran fisika karena saya benar-benar tidak menyukai pelajaran tersebut, Di sisi lain, saya harus mendapatkan skor yang tinggi untuk mendongkrak nilai semester awal ipa saya yang rendah. Lucunya, belajar fisika membuat saya sampai menitikkan air mata. Memang alay. Singkat cerita, alhamdulillah saya bisa masuk program studi IPA. Saya ingat betul betapa bahagia dan leganya saya saat mendapat kabar itu. Saya tak sabar memberitahu bapak. BE, THAT’S WHAT YOU WANT! Terkadang memang saya tak sengaja memanggil Bapak dengan “Babe.” Kisah itu terulang kembali ketika saya menginjak kelas XII namun dalam konteks yang berbeda. Kala itu mengenai jurusan yang akan saya ambil di perkuliahan. Pola pikir saya berubah. Menurut saya, anak IPA ya seharusnya memilih jurusan yang berbau IPA. Awal kelas XI, saya memang tertarik untuk terjun di bidang desain. Arsitektur. Jurusan itu yang selama hampir setahun terngiang di pikiran saya. Saya pun juga sudah membuka hati terhadap pelajaran fisika. Namun bapak tetap ingin anaknya memilih jurusan ekonomi. Memang terdengar aneh. Dulu saya dipaksa untuk masuk IPA dan sebaliknya saat itu saya disuruh untuk memilih bidang ekonomi di perkuliahan. Tentu semuanya bukan tanpa alasan. Saya kembali menuruti keinginan orang tua dengan memilih program studi Manajemen sebagai pilihan pertama dan saya menyisipkan program studi Arsitektur untuk pilihan kedua. Singkat cerita, saya tak lolos dalam keduanya namun saat ini saya bersyukur telah menjadi mahasiswi Manajemen UNY. Cerita ini sudah saya ceritakan berulang kali dan banyak teman-teman saya berpendapat bahwa bapak saya terlalu otoriter. MAY BE YES. Akan tetapi justru karena hal ini, saya memperoleh banyak pelajaran hidup. Nilai yang saya ambil ketika saya dapat membahagiakan orang lain ternyata lebih berarti daripada ketika saya bersihkeras memenuhi ego pribadi. Saya pernah mendengar ungkapan bahwa ridha Allah adalah ridha orang tua. Saya kira saya akan down ketika benar-benar harus menjalani kelas IPA murni akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Saya yakin lantaran ridha dari orang tua saya maka Allah ridha sehingga jalan saya pun dipermudah. THANKS, BE! YOU MAKE MY LIFE SO COLORFUL!
Bapak mengajarkan saya bagaimana menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat, membuat manajemen waktu yang baik, membeli barang sesuai kebutuhan, menahan emosi, bersikap rendah hati, memberi kepada orang yang membutuhkan dan banyak hal lain yang tak cukup untuk saya tulis satu per satu. Hmm menyinggung masalah kedekatan, ibu saya sendiri pernah berkata bahwa saya lebih dekat dengan bapak daripada ibu saya. Saya bangga mempunyai bapak seperti Muh Aslam. HE IS BEST FATHER IN THE WORLD! Saya sangat menyayangi beliau dan saya yakin rasa sayang beliau juga berlipat untuk saya. Saya berharap bisa membahagiakan beliau suatu hari nanti. Semoga beliau bisa menemani saya di sepanjang sisa hidup saya. BABE, LOVE YOU! <3

Jujur sebelum saya menulis paragraf baru, air mata saya sudah datang mendahuluinya. Rohmah, wanita yang dengan sabar selama sembilan bulan mengandung saya. Di mata saya, Ibu adalah pribadi yang sangat penyayang dan penyabar. Disisi lain, Ibu saya adalah seseorang yang lebih meninggikan kedudukan akhirat dibanding urusan duniawi. Jika saya dan bapak sering berbeda pendapat mengenai masalah akademik maka berbanding terbalik dengan ibu, saya dan ibu lebih sering berdebat mengenai urusan yang berhubungan dengan agama. Sewaktu saya masih SMP, saya belajar mengaji di suatu pondok pesantren. Waktu itu saya agak kewalahan menjalani rutinitas harian saya. Saya harus berangkat sekolah pukul 7 pagi dan pulang hingga pukul 3 sore. Setelah itu, pukul 4 saya harus berangkat ke pondok pesantren dan baru pulang selepas maghrib. Saya pulang ke rumah dengan setumpuk tugas sekolah yang sudah menanti. Beberapa kali saya sempat memutuskan untuk bolos mengaji karena saya pikir mengaji tak harus datang ke Pondok Pesantren, di rumah pun saya tetap bisa mengaji. Ya bedanya ketika di pondok akan diberi pelajaran mengenai kitab-kitab juga. Hingga akhirnya ibu menegur perilaku saya, “Semua yang kamu pelajari di sekolah itu tidak akan ditanyakan oleh Allah di akhirat nanti. Jika kamu hanya mementingkan sekolahmu, Ibu nggak ridha, dek.” Akhirnya saya kembali mengikuti kegiatan mengaji di Pondok Pesantren hingga saya ujian dan khatam pada tahun 2010 bersamaan dengan lulusnya saya dari jenjang SMP. Ya walaupun dengan nilai ujian pondok yang pas-pasan tapi tetap saya syukuri. Alhamdulillah.
Ibu adalah orang yang kurang setuju saat saya berniat untuk lanjut kuliah setelah lulus SMA. Sewaktu saya diterima di program diploma salah satu universitas di Yogyakarta, ibu berkata bahwa sebenarnya ibu tidak setuju melepaskan saya untuk kuliah. Sebenarnya ibu tak sengaja berkata demikian karena takut memberatkan hati saya karena ibu mengira saya akan mengambil kesempatan itu. Akhirnya sewaktu saya diterima di UNY, ibu memberi ijin. Mungkin karena saat itu juga ibu telah melihat kesungguhan saya untuk kuliah. Ibu berkata, “Ibu ikhlas kamu kuliah tapi kamu juga harus mondok. Ibu nggak ridha kalau kamu hanya mengejar duniamu saja. Kalau kamu nggak mondok mending kamu nggak usah kuliah.” Deg. “Mondok? Nggak mau!” Saya kurang sependapat dengan hal itu. Oke, saya memang tak boleh melupakan urusan akhirat saya akan tetapi mondok bukan jalan satu-satunya. Saya masih bisa ngaji “nglaju” atau apalah. Tak harus mondok. Akan tetapi setelah saya pertimbangkan akhirnya saya menyetujuinya. Awalnya memang sungguh berat ketika membayangkan harus berbagi kamar dengan beberapa orang, kehilangan privasi untuk ini itu dan belajar dua kali lipat dibanding teman-teman yang hidup di kos. Saya agak setengah hati memutuskannya. Saya hanya mengharap ridha kedua orang tua saya. InsyaAllah.
Sekarang seiring berjalannya hari-hari saya di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, justru pemikiran saya berubah. Ya awalnya saya akui memang berat akan tetapi semuanya membutuhkan proses. Menginjak hampir tiga bulan ini, saya merasa nyaman dan bersyukur dengan keputusan yang saya ambil. Saya tak salah mengambil keputusan. Disini saya mendapatkan teman-teman yang baik dan saling peduli satu sama lain. Walaupun kita dituntut untuk saling “berbagi” akan tetapi saya mulai merasakan indahnya “berbagi” itu. Saya sangat senang bisa menjalankan urusan dunia dan akhirat secara beriringan. THANKS FOR YOUR BRILLIANT IDEA, BUK!
Saya sempat menangis ketika beberapa minggu lalu menelpon orang tua saya. Saat itu ibu bercerita bahwa selama saya tinggal di Jogja, waktu satu bulan itu sangat lama bagi beliau. Biasanya ibu memang tak pernah memikirkan masalah tanggal, hari bahkan bulan. Konsekuensi tinggal di pondok pesantren memang tata tertib yang mengatur santrinya untuk pulang ke rumah hanya sebulan sekali saja. Ibu sangat ingin mengatakan bahwa beliau “kangen” akan tetapi beliau tak mau membuat anaknya kepikiran. Betapa sakitnya saya ketika mendengar hal itu karena di sini saya pun merasakan kerinduan yang sama. MISS YOU, BUK!
Saat ini, memang secara jarak, saya terpisah berpuluh-puluh kilometer dengan orang tua saya. Akan tetapi saya yakin doa mereka selalu menyertai saya dimanapun dan kapanpun. Saya bangga dan bersyukur menjadi anak dari Muh Aslam dan Rohmah. Saya tak pernah menyesali setiap langkah yang saya ambil selama ini karena semuanya dilandasi ridha orang tua saya. Dan memang benar bahwa semua yang disertai ridha mereka, InsyaAllah dimudahkan oleh Allah. Beberapa hari lalu, saya mengikuti kegiatan FISKAL UKMF Al-Fatih dan dari situ saya menemukan pendapat yang sepaham dari Kak Afri (narasumber pada acara tersebut) bahwa setiap pilihan yang kita ambil memang harus disertai ridha orang tua. Jika orang tua tak ridha maka tinggalkan pilihan kita. InsyaAllah ridha orang tua akan mendatangkan ridha Allah. PAK, BUK, TERIMA KASIH! SEMOGA BAPAK IBUK JUGA BANGGA PUNYA ANAK SEPERTI AKU! <3