Rabu, 25 Februari 2015

APAKAH PASAL 33 UUD 1945 SUDAH BERJALAN SEMPURNA?


 

Dari Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dapat ditemukan kata “asas kekeluargaan”, namun meskipun disusun UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek. Saya rasa dalam prakteknya saat ini, kata “kekeluargaan” belum benar-benar menjadi asas pedoman bangsa. Masyarakat Indonesia telah berubah total, karena sistem ekonomi industri yang diadopsi menyebabkan tatanan sosial beradaptasi dengan asumsi-asumsi ekonomi yang dibutuhkan, dimana masyarakat berubah menjadi lebih individual. Masyarakat lebih peduli akan dirinya sendiri dan pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan”.

Sesuai dengan bunyi ayat kedua mengenai penguasaan cabang produksi penting oleh negara demi kepentingan rakyat dan menelusuri bunyi ayat ketiga mengenai penguasaan penuh negara atas kekayaan alam demi kemakmuran bangsanya, saya rasa kedua ayat dalam pasal ini belum bisa direalisasikan dengan sempurna. Menurut informasi yang saya dapat, dalam hal pelaksanaan, keduanya masih menemui berbagai hambatan. Misalnya dalam kasus dikeluarkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Tentu hal ini sangat mengganggu regulasi minyak dan gas kita karena setelah UU itu disahkan sebab korporasi asing semakin leluasa menguasai bisnis migas di negeri kita. Memang dalam pasal 9 ayat 2 telah disebutkan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu (Pasal 1 ayat 18: Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah NKRI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia). Akan tetapi, korporasi asing itu bisa saja mendirikan anak perusahaan di sini dengan menjadikannya badan hukum. Kenyataannya memang Mahkamah Konstitusi telah beraksi cepat untuk mengamankan konstitusi kita. UU Migas yang menyalahi perundangan yang diatasnya ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun kita tetaplah dirugikan karena faktanya walaupun UU ini dibatalkan, perusahaan asing sempat memenangkan Exxon untuk mengelola Blok Cepu. Salah satu kekayaan alam kita akhirnya berhasil diambil alih oleh pihak asing.

Terjadi erosi pada makna pasal 33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Padahal dari tahun ke tahun dan dari generasi ke generasi, masyarakat sangat bergantung pada prospek penjualan kayu tersebut.

Menelisik kasus-kasus dia atas bukankah berarti telah terjadi ketidaksepahaman antar UU yang ada di negara kita. UUD Pasal 33 pada hakekatnya memang sudah benar namun UU berikutnya yang kemudian muncul justru seolah menjadi bumerang bagi UU sebelumnya. Saat ini bukan waktunya untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab, namun saat ini adalah waktu kita untuk bersama memperbaiki diri. UUD pasal 33 memang belum dapat dilaksanakan seperti bagaimana mestinya. Maka dari itu, setidaknya mulailah dari diri kita sendiri untuk berusaha menegakkan isi dari ayat-ayat yang tertulis dalam pasal 33 UUD 1945.