Minggu, 04 Januari 2015

Apa yang Salah dengan Jomblo?



Oleh: Nur Mazhariya U, Yovita Indriya/ Vindiasari Yunizha

            Seiring berjalannya waktu, memiliki pasangan menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan mahasiswa. Mereka yang jomblo dijadikan bahan sindiran. Lantas, apa yang salah dengan jomblo?
Istilah jomblo mulai akrab di telinga kita sejak awal tahun 2000-an. Istilah ini merujuk pada seseorang yang tidak memiliki pasangan atau tengah berusaha memperolehnya. Beragam stigma negatif muncul terkait fenomena jomblo. Akhirnya ‘dia’ yang jomblo sering merasa tersudutkan dan merasa tidak laku.
Stigma negatif
            Kisah percintaan menjadi warna tersendiri di kehidupan kawula muda. Umumnya pada masa tersebut, mereka tengah mengalami proses pendewasaan, baik dalam fisik, pikiran, maupun perasaan. Pada usia tersebut, anak muda atau mengambil contoh dekat yaitu mahasiswa mulai memiliki kebebasan untuk menentukan jalinan asmaranya. Apakah mereka akan mulai memiliki seorang kekasih atau tidak?
            Keputusan yang diambil mahasiswa mengenai status hubungannya, mulai menjadi perbincangan. Memiliki kekasih bukan menjadi pilihan, melainkan suatu kewajiban di kalangan mahasiswa. Dewasa ini, menyandang status jomblo menjadi dilema tersendiri bagi mahasiswa. Hal ini dikarenakan jomblo sering kali dikonotasikan sebagai suatu hal yang negatif, seperti galau, tidak keren, kesepian bahkan tidak hebat.  “Sebenarnya sih nggak masalah jomblo atau tidak, cuma mungkin kalau dari sisi negatifnya, kadang ada rasa gengsi kalo kumpul ama temen-temen,” ujar Matheus Ludfi (Teknik Fisika’13). Namun demikian menutut Matheus menjadi masalah selama tidak mengurangi semangat.
Pengaruh media
            Menurut Prof Dr Tina Afiatin Msi Psi, selaku Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, pandangan negatif tadi disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri sendiri sementara faktor eksternal berasal dari lingkungan. Faktor internal merupakan  pandangan seseorang menilai dirinya sendiri.Bagi  yang menyadang status jomblo, mereka  akan merasa minder pada dirinya sendiri. Biasanya mereka akan merasa tidak rupawan, tidak cantik, atau tidak populer,” jelas Tina. Jika persoalan ini berkepanjangan maka hal itu dapat menghambat pergaulan mereka.
            Sedangkan faktor eksternal merupakan cara pandang orang lain maupun media terhadap para jomblo. Saat ini, media gencar menginformasikan pemberitaan yang mempengaruhi cara pikir masyarakat. “Tak sedikit media menyajikan berita maupun hiburan yang memberikan citra buruk pada para jomblo. Misalnya, sinetron yang mengusung tema percintaan. Dalam sinetron tersebut diceritakan bahwa mereka yang memiliki kekasih adalah orang yang populer dan rupawan sementara yang tidak mendapatkan kekasih adalah orang yang payah,” ujar Tina. Hal-hal tersebutlah yang membuat predikat ‘jomblo’ banyak dikonototasikan dengan hal-hal yang negatif.
            “Propaganda dari TV, iklan, media sosial mengubah cara berpikir masyarakat menjadi cara berpikir hedonis yang hanya mencari kesenangan. Hal itu, merupakan salah satu faktor yang mengubah pemikiran secara tidak langsung,” tambahnya.
            Terdapat beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak psikis akibat fenomena jomblo ini. Diantaranya melalui dukungan keluarga dan menyibukkan diri dengan hal-hal positif. Namun, jika dampak yang dirasa makin parah, Tina menyarankan untuk konseling. Predikat seorang jomblo tak selamanya negatif, presepsi kembali ke pribadi masing-masing. Sebagai kawula muda, wajar bila kita mendambakan seorang pasangan. Mahasiswa memiliki kewajiban yang lebih besar, yaitu kewajiban pada pendidikan saat ini. “Ya menurutku sih penting-nggak penting status jomblo itu. Kadang jomblo bisa merasa kesepian, tapi kadang juga jadi buat kita lebih fokus belajar,pungkas Efrem Deardo (Teknik Fisika’13).

nb: ilustrasi oleh Nelly Ifada wks ^^