Rabu, 19 November 2014

Seberapa Dekat Hubungan Saya dengan Orang Tua




Bapak saya bernama Muh Aslam dan ibu saya bernama Rohmah. Jika ditanya mengenai sejauh mana kedekatan saya dengan mereka, jujur saya agak bingung untuk mulai menjelaskannya. Akan tetapi, satu hal yang saya yakini bahwa saya sangat bersyukur menjadi anak kandung mereka.
Muh Aslam adalah seseorang yang selama 17 tahun ini saya panggil dengan sebutan “Bapak”. Menurut saya, beliau bukan hanya memerankan figur seorang bapak akan tetapi beliau juga merangkap posisi sebagai seorang sahabat. Beliau memang cenderung memiliki cara yang “keras” dalam mendidik anak-anaknya. “Keras” dalam hal ini bukan berarti menggunakan kekuatan fisik akan tetapi ketegasan yang dilandasi dengan komitmen kuat. Walaupun bapak adalah pribadi yang keras tapi beliau juga punya sisi lembut layaknya seorang ibu. Dari luar memang bapak kelihatan seperti acuh tak acuh akan tetapi sebenarnya beliau peduli dan memikirkan segalanya. Ya menurut saya, bapak adalah orang tua yang unik. Suatu ketika saya bisa tertawa terkekeh mendengar guyonan beliau namun di waktu yang berbeda, saya bisa menangis tersedu melihat ketulusan sikap beliau.
Saya dan bapak sering mengalami beda pendapat. Sewaktu kelas X, saya berkeinginan mengambil program studi ilmu sosial sebagai langkah lanjutan saya. Akan tetapi keputusan tersebut ditolak oleh bapak saya. Saya bahkan sampai harus berganti angket pilhan jurusan sebanyak tiga kali karena bapak saya tetap tak mau menandatanginya. Bapak ingin saya melanjutkan ke program studi ilmu alam karena “konon” akan lebih gampang ketika akan masuk bangku perkuliahan. Sempat tersirat di pikiran saya bahwa keputusan bapak itu benar-benar tidak adil. Dalam hal ini, saya lah yang akan menjalani semuanya dan seharusnya saya lah yang punya hak untuk memilih. Dan akhirnya keputusan yang saya ambil adalah melingkari tulisan “Ilmu Pengetahuan Alam”  yang ada di angket. Saya pasrah. Baiklah, asalkan orang tua senang. Tantangan selanjutnya yang harus saya hadapi adalah pelajaran fisika karena saya benar-benar tidak menyukai pelajaran tersebut, Di sisi lain, saya harus mendapatkan skor yang tinggi untuk mendongkrak nilai semester awal ipa saya yang rendah. Lucunya, belajar fisika membuat saya sampai menitikkan air mata. Memang alay. Singkat cerita, alhamdulillah saya bisa masuk program studi IPA. Saya ingat betul betapa bahagia dan leganya saya saat mendapat kabar itu. Saya tak sabar memberitahu bapak. BE, THAT’S WHAT YOU WANT! Terkadang memang saya tak sengaja memanggil Bapak dengan “Babe.” Kisah itu terulang kembali ketika saya menginjak kelas XII namun dalam konteks yang berbeda. Kala itu mengenai jurusan yang akan saya ambil di perkuliahan. Pola pikir saya berubah. Menurut saya, anak IPA ya seharusnya memilih jurusan yang berbau IPA. Awal kelas XI, saya memang tertarik untuk terjun di bidang desain. Arsitektur. Jurusan itu yang selama hampir setahun terngiang di pikiran saya. Saya pun juga sudah membuka hati terhadap pelajaran fisika. Namun bapak tetap ingin anaknya memilih jurusan ekonomi. Memang terdengar aneh. Dulu saya dipaksa untuk masuk IPA dan sebaliknya saat itu saya disuruh untuk memilih bidang ekonomi di perkuliahan. Tentu semuanya bukan tanpa alasan. Saya kembali menuruti keinginan orang tua dengan memilih program studi Manajemen sebagai pilihan pertama dan saya menyisipkan program studi Arsitektur untuk pilihan kedua. Singkat cerita, saya tak lolos dalam keduanya namun saat ini saya bersyukur telah menjadi mahasiswi Manajemen UNY. Cerita ini sudah saya ceritakan berulang kali dan banyak teman-teman saya berpendapat bahwa bapak saya terlalu otoriter. MAY BE YES. Akan tetapi justru karena hal ini, saya memperoleh banyak pelajaran hidup. Nilai yang saya ambil ketika saya dapat membahagiakan orang lain ternyata lebih berarti daripada ketika saya bersihkeras memenuhi ego pribadi. Saya pernah mendengar ungkapan bahwa ridha Allah adalah ridha orang tua. Saya kira saya akan down ketika benar-benar harus menjalani kelas IPA murni akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Saya yakin lantaran ridha dari orang tua saya maka Allah ridha sehingga jalan saya pun dipermudah. THANKS, BE! YOU MAKE MY LIFE SO COLORFUL!
Bapak mengajarkan saya bagaimana menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat, membuat manajemen waktu yang baik, membeli barang sesuai kebutuhan, menahan emosi, bersikap rendah hati, memberi kepada orang yang membutuhkan dan banyak hal lain yang tak cukup untuk saya tulis satu per satu. Hmm menyinggung masalah kedekatan, ibu saya sendiri pernah berkata bahwa saya lebih dekat dengan bapak daripada ibu saya. Saya bangga mempunyai bapak seperti Muh Aslam. HE IS BEST FATHER IN THE WORLD! Saya sangat menyayangi beliau dan saya yakin rasa sayang beliau juga berlipat untuk saya. Saya berharap bisa membahagiakan beliau suatu hari nanti. Semoga beliau bisa menemani saya di sepanjang sisa hidup saya. BABE, LOVE YOU! <3

Jujur sebelum saya menulis paragraf baru, air mata saya sudah datang mendahuluinya. Rohmah, wanita yang dengan sabar selama sembilan bulan mengandung saya. Di mata saya, Ibu adalah pribadi yang sangat penyayang dan penyabar. Disisi lain, Ibu saya adalah seseorang yang lebih meninggikan kedudukan akhirat dibanding urusan duniawi. Jika saya dan bapak sering berbeda pendapat mengenai masalah akademik maka berbanding terbalik dengan ibu, saya dan ibu lebih sering berdebat mengenai urusan yang berhubungan dengan agama. Sewaktu saya masih SMP, saya belajar mengaji di suatu pondok pesantren. Waktu itu saya agak kewalahan menjalani rutinitas harian saya. Saya harus berangkat sekolah pukul 7 pagi dan pulang hingga pukul 3 sore. Setelah itu, pukul 4 saya harus berangkat ke pondok pesantren dan baru pulang selepas maghrib. Saya pulang ke rumah dengan setumpuk tugas sekolah yang sudah menanti. Beberapa kali saya sempat memutuskan untuk bolos mengaji karena saya pikir mengaji tak harus datang ke Pondok Pesantren, di rumah pun saya tetap bisa mengaji. Ya bedanya ketika di pondok akan diberi pelajaran mengenai kitab-kitab juga. Hingga akhirnya ibu menegur perilaku saya, “Semua yang kamu pelajari di sekolah itu tidak akan ditanyakan oleh Allah di akhirat nanti. Jika kamu hanya mementingkan sekolahmu, Ibu nggak ridha, dek.” Akhirnya saya kembali mengikuti kegiatan mengaji di Pondok Pesantren hingga saya ujian dan khatam pada tahun 2010 bersamaan dengan lulusnya saya dari jenjang SMP. Ya walaupun dengan nilai ujian pondok yang pas-pasan tapi tetap saya syukuri. Alhamdulillah.
Ibu adalah orang yang kurang setuju saat saya berniat untuk lanjut kuliah setelah lulus SMA. Sewaktu saya diterima di program diploma salah satu universitas di Yogyakarta, ibu berkata bahwa sebenarnya ibu tidak setuju melepaskan saya untuk kuliah. Sebenarnya ibu tak sengaja berkata demikian karena takut memberatkan hati saya karena ibu mengira saya akan mengambil kesempatan itu. Akhirnya sewaktu saya diterima di UNY, ibu memberi ijin. Mungkin karena saat itu juga ibu telah melihat kesungguhan saya untuk kuliah. Ibu berkata, “Ibu ikhlas kamu kuliah tapi kamu juga harus mondok. Ibu nggak ridha kalau kamu hanya mengejar duniamu saja. Kalau kamu nggak mondok mending kamu nggak usah kuliah.” Deg. “Mondok? Nggak mau!” Saya kurang sependapat dengan hal itu. Oke, saya memang tak boleh melupakan urusan akhirat saya akan tetapi mondok bukan jalan satu-satunya. Saya masih bisa ngaji “nglaju” atau apalah. Tak harus mondok. Akan tetapi setelah saya pertimbangkan akhirnya saya menyetujuinya. Awalnya memang sungguh berat ketika membayangkan harus berbagi kamar dengan beberapa orang, kehilangan privasi untuk ini itu dan belajar dua kali lipat dibanding teman-teman yang hidup di kos. Saya agak setengah hati memutuskannya. Saya hanya mengharap ridha kedua orang tua saya. InsyaAllah.
Sekarang seiring berjalannya hari-hari saya di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, justru pemikiran saya berubah. Ya awalnya saya akui memang berat akan tetapi semuanya membutuhkan proses. Menginjak hampir tiga bulan ini, saya merasa nyaman dan bersyukur dengan keputusan yang saya ambil. Saya tak salah mengambil keputusan. Disini saya mendapatkan teman-teman yang baik dan saling peduli satu sama lain. Walaupun kita dituntut untuk saling “berbagi” akan tetapi saya mulai merasakan indahnya “berbagi” itu. Saya sangat senang bisa menjalankan urusan dunia dan akhirat secara beriringan. THANKS FOR YOUR BRILLIANT IDEA, BUK!
Saya sempat menangis ketika beberapa minggu lalu menelpon orang tua saya. Saat itu ibu bercerita bahwa selama saya tinggal di Jogja, waktu satu bulan itu sangat lama bagi beliau. Biasanya ibu memang tak pernah memikirkan masalah tanggal, hari bahkan bulan. Konsekuensi tinggal di pondok pesantren memang tata tertib yang mengatur santrinya untuk pulang ke rumah hanya sebulan sekali saja. Ibu sangat ingin mengatakan bahwa beliau “kangen” akan tetapi beliau tak mau membuat anaknya kepikiran. Betapa sakitnya saya ketika mendengar hal itu karena di sini saya pun merasakan kerinduan yang sama. MISS YOU, BUK!
Saat ini, memang secara jarak, saya terpisah berpuluh-puluh kilometer dengan orang tua saya. Akan tetapi saya yakin doa mereka selalu menyertai saya dimanapun dan kapanpun. Saya bangga dan bersyukur menjadi anak dari Muh Aslam dan Rohmah. Saya tak pernah menyesali setiap langkah yang saya ambil selama ini karena semuanya dilandasi ridha orang tua saya. Dan memang benar bahwa semua yang disertai ridha mereka, InsyaAllah dimudahkan oleh Allah. Beberapa hari lalu, saya mengikuti kegiatan FISKAL UKMF Al-Fatih dan dari situ saya menemukan pendapat yang sepaham dari Kak Afri (narasumber pada acara tersebut) bahwa setiap pilihan yang kita ambil memang harus disertai ridha orang tua. Jika orang tua tak ridha maka tinggalkan pilihan kita. InsyaAllah ridha orang tua akan mendatangkan ridha Allah. PAK, BUK, TERIMA KASIH! SEMOGA BAPAK IBUK JUGA BANGGA PUNYA ANAK SEPERTI AKU! <3

Tidak ada komentar :

Posting Komentar