Jumat, 06 Maret 2015

Permasalahan dalam Ekonomi Kerakyatan



Seperti yang telah tercantum dalam slide, permasalahan utama ekonomi kerakyatan terdiri atas tiga hal yaitu pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan. Saya setuju mengenai hal itu. Pengangguran memang sudah bukan hal yang asing didengar. Sepanjang bulan Februari hingga Agustus 2014, jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 0,09 juta orang dari 7,15 juta orang meningkat 7,24 juta orang (sumber: data BPS). Tentu hal ini menjadi bibit masalah bagi bangsa Indonesia karena mulai dari peningkatan jumlah pengangguran maka masalah lain yang akan timbul adalah kemiskinan dan kesenjangan. Pemerintahan Pak Jokowi harus mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak di sektor riil seperti pertanian, industri dan pertambangan. Ketiga sektor ini yang akan menghasilkan barang untuk dijual, dan di dalamnya juga ada kegiatan prosesing yang melibatkan tenaga kerja yang banyak dibutuhkan. Kalau saja  pemerintah fokus di sektor riil dan memberikan insentif juga stimulus, bukan hanya perekonomian yang baik tetapi penyerapan tenaga kerja juga akan memadai sehingga masalah lainnya juga dapat dihindari.

Akibat gejolak ekonomi yang ada maka timbulah kesenjangan yang menggolongkan masyarakat menjadi dua kubu yaitu kaum menengah kebawah dan menengah keatas. Faktor yang mempengaruhinya yang pertama yaitu tidak meratanya distribusi pendapatan di setiap daerah. Sebab-sebab terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan yakni pertumbuhan ekonomi yang tak berjalan seimbang dengan arus pertumbuhan penduduk, ketimpangan perkembangan antara kota desa, dan sistem pemerintahan yang bersifat plutokratis (sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki). 
         Lalu bagaimana memperbaiki distribusi pendapatan Indonesia yang kian timpang? Pertama,  harus ada kebijakan untuk meredistribusi asset agar golongan tidak mampu bisa memperoleh asset sebagai modalnya untuk berusaha. Kedua, meminimalkan bertambahnya pekerja di sektor informal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendorong pertumbuhan sektor produksi (pertanian dan industri) sehingga  bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Ketiga, penghapusan subsidi BBM dan listrik dan diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan. Pemerintah harus berani melakukan hal ini meskipun ini langkah yang secara politik tidak populer. Faktor kedua yang mempengaruhi ialah perlakuan hukum yang berbeda antara si kaya dan si miskin. Bahkan, sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Beberapa bulan lalu muncul banyak kasus yang membuktikan bahwa dalam negara kita memang telah terjadi ketidakadilan dalam mengatasi hukum antara si kaya dan si miskin. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya Nenek Rasminah yang mencuri enam buah piring dihukum 130 hari,Kakek Rawi yang mencuri 500 gram merica terancam lima tahun penjara, serta Nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri tiga buah kakao. Sebaliknya, dalam kasus-kasus yang melibatkan orangorang besar, entah dari kalangan pengusaha, birokrat, politikus, artis,ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini, proses penegakan hukumnya kerap dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, pandangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai proses penyidikan hingga putusan nanti. Bukankah sesungguhnya, hukum telah mengatur bahwa kedudukan setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah.Hal inilah yang disebut sebagai kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Jadi,dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar, hendaklah dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah.
Saya juga setuju dengan pendapat yang menyebutkan bahwa kenyataannya koperasi masih terlalu lemah untuk menempatkan posisinya sebagai unsur esensial dan hubungannya dengan sektor yang lain (pemerintah dan swasta) belum dapat berjalan serasi . Kedudukan koperasi sebagai lembaga ekonomi, sarana pendidikan, sarana demokrasi dan wahana pengimbang belum dapat direalisasikan secara sempurna dan kerjasama yang seharusnya terjalin diantara ketiganya belum dapat terwujud dengan baik. Tentu hal ini menjadi tugas ekstra pemerintahan Pak Jokowi dalam rangka mengemban amanah rakyat.
Bukan hal yang mudah untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia yang bisa dibilang rumit ini. Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan kerjasama yang apik, tak hanya dari pemerintah namun tentu juga dari seluruh masyarakat Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang telah susah payah diatur oleh pemerintah tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya jika rakyatnya tidak memiliki kesadaran tentang hukum. Sebaliknya, pemerintah juga harus benar-benar sadar bahwa kedudukan yang ada di tangan mereka sekarang, bukanlah harta karun yang akan selalu mereka gali keuntungannya melainkan sebuah amanah yang harus dijalankan dan akan dipertanggungjawabkan di hari akhir nanti.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar