Nelly Ifada. Nelly memiliki makna “Yang
Mengalir” dan Ifada yang bermakna “Anugerah”. Saya mengartikannya dengan
“Anugerah yang Mengalir” atau “Aliran Anugerah”. Setidaknya itulah harapan
besar orang tua saya atas kelahiran anak keempat mereka di tahun 1997 lalu.
Saya lahir di Magelang, Jawa Tengah tepatnya pada hari Kamis Wage tanggal 11
September. Saya merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Ragil (bahasa
Jawa: anak terakhir) sulit untuk
dipisahkan dari kata “dimanja” di lingkungan keluarganya. Saya bersyukur bisa mendapat
begitu banyak kasih sayang dari orang tua saya, Muh Aslam dan Rohmah. Begitu
pula dengan ketiga kakak saya, si sulung perempuan dan dua kakak laki-laki,
mereka juga yang senantiasa hadir menyayangi dan melindungi saya.
Saya lahir, dibesarkan dan menghabiskan
hampir seluruh waktu dalam hidup saya di sebuah daerah yang terletak di
Kabupaten Magelang. Daerah itu disebut Salaman. Salaman dalam bahasa Jawa
berarti berjabat tangan. Terdengar asing ketika suatu daerah dinamai demikian.
Saya pun tidak tahu asal-usul pemberian nama tersebut. Rumah saya terletak tepat
di belakang Terminal Salaman. Ya di daerah Terminal. Banyak orang yang langsung
berpandangan negatif dengan daerah tersebut. Kekerasan, minuman keras dan judi
sudah pernah terjadi disini. Setidaknya sampai saat saya tumbuh dewasa, saya
tak pernah mendengar hal-hal itu terjadi lagi disini. Alhamdulilah.
Saya mengkhatamkan pendidikan saya dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di Salaman. Hanya berjarak
beberapa kilometer dari rumah. Saya merupakan siswi dengan prestasi akademik
lumayan di sekolah walaupun tak pernah mendapat juara satu saat kenaikan kelas.
Saya bangga dengan setiap hasil kerja keras saya. Mencontek adalah perbuatan
yang paling saya hindari saat itu. Rasanya hampa saat kita mendapat hasil yang
bagus namun dibalik itu terdapat kebohongan.
Menginjak masuk SMA, saya memilih untuk
bersekolah di Kota Magelang. Saya dan beberapa yang lain menjadi anak kabupaten
yang memilih bersekolah di kota. Alhamdulillah saya bisa menjadi bagian dari
sekolah yang berhasil meraih peringkat satu se Jawa Tengah kala itu. Rasa
bahagia dan takut membaur menjadi satu. Bahagia karena bisa bersekolah di
tempat yang dimimpikan banyak orang. Sementara disisi lain ada rasa takut
bergaul dengan anak-anak kota yang identik dengan hedonism. Ya setelah saya menjalaninya, memang mereka
sangat addict dengan
barang-barang branded dan kehidupan yang glamour. Perilaku mereka
yang seperti itu sudah seakan menjadi virus bagi orang-orang kabupaten seperti
saya. Jika tidak berhasil membaur maka akan tersingkir. Tergiur untuk melakukan
hal yang sama pasti pernah saya rasakan. Namun disisi lain, saya bangga pernah
menjadi bagian dari sekelompok orang hebat itu. Mereka sangat kompetitif dalam
meraih prestasi akademik maupun non akademik. Sekumpulan orang dengan ide-ide
kreatif yang mampu mencetak begitu banyak penghargaan di tingkat kota maupun
provinsi. Sayangnya saya belum bisa meniru jejak mereka kala itu.
Semasa SMA, saya menemui beberapa beda
pendapat dengan Bapak saya. Menjelang kenaikan kelas sebelas, saya berniat
untuk memilih jalur ilmu sosial sebagai konsentrasi saya. Namun Bapak
menginginkan anak bungsunya ini masuk jalur ilmu pengetahuan alam. Dengan jalur
itu Bapak ingin anaknya lebih mudah masuk universitas. Awalnya saya menolak
karena itu memang berbeda dengan minat dan kemampuan saya. Apalagi sejak awal
orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang entrepreneur lalu
mengapa saya tidak mengambil konsentrasi yang senada dengan itu. Akhirnya saya
memilih menuruti pilihan Bapak. Setelah itu saya belajar keras agar bisa
mewujudkan keinginan Bapak karena bisa dibilang masuk jalur IPA di sekolah itu
tidak mudah. Alhamdulillah saya berhasil melaluinya. Diluar dugaan saya,
prestasi saya justru meningkat dengan memasuki jalur itu. Awalnya memang sangat
susah untuk beradaptasi dengan mata pelajaran yang bahkan sama sekali saya
tidak sukai itu. Saya sebut ini sebagai “Ridha Orang Tua”. Ketika orang tua
sudah ridha dengan apa yang anaknya lakukan maka Allah juga akan ridha
terhadapnya. Belajar sains justru merupakan sebuah tantangan dan hal yang
menyenangkan bagi saya.
Perdebatan mulai timbul kembali ketika saya
hendak memutuskan untuk memilih jurusan kuliah ketika menjelang UN. Bapak ingin
anaknya memilih jurusan berbau ekonomi agar selanjutnya bisa meneruskan bisnis
keluarga. Ya awalnya saya memang sudah tau bahwa saya harus memilih jurusan itu
setelah masuk ke jalur IPA. Namun sepertinya saya sudah jatuh cinta pada ilmu
alam. Kala itu saya ingin masuk jurusan Arsitektur. Sungguh berbeda dengan
pilihan keluarga saya. Sejak kecil saya gemar menggambar dan hobi ini terus
berlanjut hingga saya dewasa. Saya suka seni dan menghitung angka-angka juga
merupakan hal yang menantang bagi saya. Seperti sebelumnya, saya juga memilih
untuk mengikuti pilihan orang tua. Sedih itu pasti. Dibully karena
merebut lahan anak IPS juga saya pernah alami.
Mendaftar masuk perguruan tinggi merupakan
pengalaman yang luar biasa. Air mata banyak bercucuran menemani perjuangan
saya. Bapak tidak ingin anaknya belajar jauh dari rumah akhirnya hanya
Yogyakarta yang bisa menjadi tujuan saya. Tiga kali saya ditolak masuk jurusan
dari universitas yang saya tuju. Saat itu memang bisa dibilang saya masih
setengah hati menjalankan pilihan orang tua saya. Berbeda dengan memilih
konsentrasi di SMA, saya begitu memperjuangkan pilihan itu agar terwujud
walaupun saya tidak yakin akan menyukainya. Pada akhirnya saya gagal. Kegagalan
paling pahit yang pernah saya rasakan. Merasa gagal untuk mewujudkan pilihan
orang tua di jurusan dan universitas yang mereka inginkan. Saya menyadari bahwa
sebuah keikhlasan juga diperlukan dan bukan hanya tindakan semata.
Akhirnya sekarang saya menuntut ilmu di
Kampus Pendidikan dengan tetap mengambil konsentrasi yang orang tua saya
inginkan. Bisa dibilang sampai sekarang saya masih belajar untuk mencintai
keputusan ini. Namun inilah pilihan dari Allah. Bukan pilihan saya maupun kedua
orang tua saya. Sekarang saya menjadi mahasiswi sekaligus santri di Pondok
Pesantren Wahid Hasyim. Alhamdulillah keduanya bisa berjalan lancar. IPK yang
lumayan dan mengimbanginya dengan belajar ilmu agama. Harapan saya sekarang,
saya bisa mengusahakan ilmu dunia dan akhirat dengan beriringan.
Semester empat lalu, saya juga menyalurkan
hobi saya di bidang desain dengan usaha desain kecil-kecilan bersama dengan
beberapa teman kuliah. CORArtwork,
itulah nama usaha kecil-kecilan kami. Ya sejak SMA, saya mulai tertarik dengan
aplikasi desain grafis. Ketika dibangku kuliah, saya mulai menggunakannya
kembali untuk keperluan organisasi. Akhirnya sekarang hobi itu menjadi ladang
bisnis kecil-kecilan. Saya memang masih amatir. Saya merasa puas jika desain
yang saya rancang bisa disukai pemesan dibanding memperhitungkan profit yang
akan saya terima. Ya bisa dibilang saya masih lebih berjiwa seniman ketimbang
seorang entrepreneur.
Hingga detik ini banyak pelajaran kehidupan
yang dapat saya ambil dari perjalanan ini. Entah hari esok apa yang akan saya
lakukan. Saya berharap Allah terus meridhai langkah yang saya pilih. Semoga apa
yang saya lakukan bisa bermakna baik untuk orang-orang di sekitar saya layaknya
aliran anugerah yang terus mengalir tanpa henti.