Nelson Mandela. Ketika masih duduk di bangku
sekolah, saya sempat beberapa kali mendengar namanya di televisi. Awalnya yang
saya tahu, ia adalah Presiden Afrika Selatan. Ya sosok Presiden yang patut
dihormati sama dengan pemimpin negara pada umumnya. Akan tetapi apa yang
membuat ia begitu terkenal dan dikagumi. Namanya tak hanya dikenal di negara
yang ia pimpin tapi juga menyebar hampir di penjuru dunia. Saat itu juga saya mulai
mengetahui bahwa ia menyimpan legenda yang luar biasa, ia merupakan sosok yang
pernah memperjuangkan revolusi anti apartheid dan menyerukan persamaan ras di
tanah Afrika. Namun sebatas itu saja informasi yang saya tahu. Nelson Mandela,
Presiden Afrika Selatan yang dahulu pernah memperjuangkan hak asasi yang
seharusnya dimiliki bangsa kulit hitam. Ketika saat ini saya mendapat tugas
untuk menonton film bertema diversity dan ethics, saya teringat
kembali dengan sosok Nelson Mandela. Saya ingin mencari tahu tentang kisah
Presiden Afrika Selatan itu. Ternyata banyak sekali film yang menggambarkan
kisah perjuangan Nelson dan akhirnya saya memilih film yang paling baru
dirilis. Mandela: Long Walk for Freedom, film garapan Sutradara Justin Chadwick
ini menceritakan kisah perjalanan anak muda dari golongan kulit hitam yang
mengorbankan hampir setengah dari hidupnya itu memperjuangkan persamaan ras di
negaranya.
Alkisah, ia merupakan remaja yang berprofesi
sebagai seorang pengacara. Disinilah ia banyak menyadari bahwa orang-orang
berkulit hitam sepertinya banyak mendapat ketidakadilan perlakuan oleh kelompok
kulit putih. Tak hanya itu bahkan kaumnya mendapat ketidakadilan di mata hukum.
Bersamaan dengan itulah ia bertemu dengan Ahmed Kathrada, Walter Sisulu dan
kawan-kawan seperjuangannya. Mereka meyakini bahwa persamaan ras wajib
diperjuangkan di negara itu. Sekelompok pemuda kulit hitam ini yakin bahwa satu
atau dua orang tak cukup untuk melawan kekejaman para petinggi disana karena persatuan
adalah kunci awal dari perjuangan. Dengan ini mereka bersama mantap menyatukan
suara dengan para penduduk desa untuk melawan para penguasa daerah. Demo pun
mereka galakkan. Disini saya juga baru mengetahui bahwa ternyata saat akan
menggunakan kendaraan umum pun mereka mendapat perbedaan perlakuan dari negara.
Di dalam kereta ada beberapa kelas VIP yang dikhususkan untuk ras kulit putih
sedangkan warga kulit hitam hanya bisa menaiki kelas biasa. Ternyata dalam
hal-hal sepele, perbedaan warna kulit selalu diungkit untuk menentukan sebuah
keputusan. Sekelompok pemuda ini semakin geram dan lebih giat untuk menyuarakan
pendapat mereka ke seluruh penjuru Afrika Selatan. Langkah mereka tentu membuat
suasana pemerintahan kala itu semakin panas sehingga pada akhirnya para pelopor
anti apartheid itu menjadi buronan negara. Mereka harus rela berpindah-pindah
tempat untuk menghindari serangan polisi dengan sambil terus menyuarakan
gerakan anti apartheid ke desa-desa yang mereka jumpai. Ya disini saya melihat
betapa besar kesungguhan mereka memperjuangkan hak bangsa kulit hitam. Bisa
dibilang bahwa keluarga mereka telah dinomorduakan untuk kepentingan mulia ini.
Istri pertama Mandela sendiri berkata bahwa suaminya sudah berlebihan, ia lebih
menyayangi nasib anak-anak di luar sana daripada anak laki-lakinya sendiri. Akhirnya
istri Mandela pun pergi dari rumah karena tak bisa menerima perlakuan dari
suaminya itu. Mandela saat itu resmi bercerai dengan istrinya dan menjadi
buronan yang paling dicari di Afrika. Mereka sungguh hanya memperjuangkan keadilan
dibanding kebutuhan pribadi mereka.
Setelah bertahun-tahun, Mandela yang kala itu
sudah memiliki dua anak perempuan hasil dari pernikahan dengan istri keduanya,
akhirnya berhasil ditangkap oleh polisi. Ketika di pengadilan, ia sebagai juru
bicara dari kelompoknya menyatakan bahwa mereka siap di hukum mati dengan
persyaratan bahwa pemerintah harus mengakui persamaan hak antara kaum kulit
putih dan kulit hitam. Namun keinginan mereka ditolak oleh Hakim, Mandela dan
kawan-kawannya dijatuhi hukuman seumur hidup. Mereka dibawa ke sebuah pulau
terpencil untuk menjalani sisa hidup mereka. Namun perlakuan yang mereka
dapatkan sungguh tidak manusiawi. Mereka diperlakukan layaknya kawanan binatang.
Polisi-polisi itu mempekerjakan mereka seperti budak, mengolok-olok mereka
bahkan membiarkan mereka terkena guyuran hujan di tengah malam tanpa sehelai
pakaian. Emosi mereka benar-benar diuji. Seberat apapun penderitaan yang mereka
hadapi disana, hebatnya mereka tetap saling mendukung satu sama lain.
Hingga sampai saat dimana Mandela mendapat
pukulan hebat karena harus ditinggal Ibu kandung dan anak laki-laki dari
pernikahan pertamanya yang meninggal dunia. Disaat bersamaan ia juga mendapat
kabar bahwa Winnie, istri Mandela akan segera dipenjara. Sepeninggal suaminya
yang harus menjalani hukuman seumur hidup didalam jeruji besi, Winnie Mandela
berperan sebagai pengganti suaminya untuk meneruskan perjuangan gerakan anti
apartheid. Ia pun harus rela meninggalkan kedua anak perempuannya yang saat itu
belum genap lima tahun. Itulah saat-saat terburuk yang dialami Nelson Mandela,
ia tak diperbolehkan melihat pemakaman Ibu dan anak laki-lakinya sementara
disisi lain ia juga harus menyadari bahwa diluar sana kedua anaknya yang lain
sedang berjuang mempertahankan hidup tanpa belaian seorang ibu yang harus
mengalami hukuman penjara. Terasa pilu ketika harus melihat para pejuang yang
hendak menegakkan keadilan justru harus membayar hidupnya dengan penderitaan
luar biasa yang saat itu tetap tidak berdampak apapun pada kondisi pemerintahan
negaranya. Ya penindasan tetap terjadi terhadap kaum kulit hitam di Afrika
Selatan kala itu.
Puluhan tahun akhirnya berlalu, Nelson dan
kawan-kawannya sudah berubah menjadi sekelompok pria tua yang tetap pasrah menjalani kehidupannya di
penjara. Scene yang paling mengharukan menurut saya saat itu adalah
ketika Nelson bertemu dengan anak perempuannya yang telah tumbuh dewasa. Zindzi
Mandela yang sudah mendapat ijin untuk bertemu sang Ayah yang tak pernah hadir menemani
masa-masa kecilnya. Dalam satu tahun selama di penjara, Nelson hanya diberikan
kesempatan satu kali untuk mengirimkan dua lembar surat kepada putri dan
istrinya. Mereka yang telah berpisah selama 16 tahun akhirnya dapat saling
bertatap muka. Keinginan kecil untuk saling menyentuh terhalang kaca besi besar
yang menghalangi mereka. Dengan kemajuan teknologi yang ada, Zindzi bertekad untuk
memberitahu kepada seluruh dunia bahwa ketidakadilan telah terjadi di
negaranya. Ia berhasil menarik dukungan dunia untuk ikut serta dalam aksi
pembebasan Nelson Mandela. Tuntutan pembebasan Nelson Mandela dan
kawan-kawannya terus disuarakan di berbagai dunia. Pemerintah pun semakin
tertekan. Mereka akhirnya mengambil tindakan untuk memindahkan para narapidana
itu menuju penjara baru yang lebih manusiawi setelah 18 tahun diasingkan di
pulau terpencil itu.
Posisi pemerintah semakin tersudutkan ketika
dunia terus meminta pengakuan persamaan ras di Afrika Selatan. Akhirnya mereka
meminta Nelson untuk menghadiri sebuah perundingan. Nelson tetap teguh pada
pendiriannya bahwa kaum kulit hitam harus mendapat perlakuan yang sama seperti
halnya yang didapat kaum kulit putih. Salah satunya seperti one man, one
vote. Selama ini kaum kulit hitam kurang diakui suaranya dalam pemilihan
umum sehingga kursi pemerintahan selalu dikuasai oleh bangsa kulit putih. Sebenarnya
populasi orang kulit hitam yang tinggal di Afrika Selatan lebih banyak daripada
orang kulit putih. Nelson mengancam kepada para petinggi itu bahwa ketika
persamaan hak belum dilakukan, ia memastikan bahwa kaumnya akan terus melakukan
pemberontakan. Perundingan sengit terus dilakukan mengingat kondisi Afrika
Selatan yang semakin memburuk. Puncaknya sampai dimana keputusan pembebasan
Nelson dan kawan-kawannya disetujui oleh Presiden. Peristiwa itu terjadi di
tahun 1990 setelah selama 28 tahun mereka ditahan. Bangsa kulit hitam sangat
bahagia mendengar kebebasan para pelopor anti apartheid itu.
Sedikit demi sedikit hak asasi kulit hitam
mulai diakui. Seiring berjalannya waktu hal buruk terjadi, kaum kulit hitam
yang menduduki populasi mayoritas di Afrika Selatan menolak dengan keras
kekuasaan yang dipimpin oleh kaum kulit putih. Mereka bahkan menolak untuk
berbagi kursi kekuasaan dengan bangsa kulit putih. Kaum kulit hitamlah yang
mereka yakini harus menguasai negara asalnya itu. Pemberontakan kembali
memuncak. Winnie Mandela yang juga merupakan aktivis juga ikut menolak
kehadiran kaum kulit putih di pemerintahan. Hal ini sangat berkebalikan dengan
misi suaminya, Nelson Mandela. Nelson menginginkan sebuah perdamaian antara
kulit hitam dan putih dengan adanya persamaan hak diantara mereka. Bukan
berarti saat setelah kulit hitam diakui maka mereka harus berbalik menindas
kaum kulit putih dengan tidak mengijinkan mereka duduk di kursi pemerintahan.
Menurutnya tak masalah ketika kaum kulit hitam dan putih harus berbagi kekuasan
untuk mewujudkan negara yang lebih baik karena kaum kulit putih juga mempunyai
hak andil untuk memperjuangkan negaranya. Perbedaan pendapat antara suami istri
ini berujung pada gugatan cerai Nelson kepada Winnie, wanita yang selama
puluhan tahun telah mendukung usahanya memperjuangkan hak kaum kulit hitam.
Saat itu Nelson diberi kepercayaan untuk mencalonkan diri sebagai calon
Presiden Afrika Selatan. Ia meminta warganya untuk dapat menerima persamaan dan
menggunakan hak pilih mereka dengan sebaik-baiknya di pemilihan umum nanti.
Kabar baik diterima oleh Nelson, ia berhasil
terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan. Presiden yang akan memberikan
persamaan hak kepada yang hitam atau yang putih. Presiden yang ingin membawa
Afrika Selatan dalam kedamaian dan persatuan diatas perbedaan yang ada diantara
meraka. Long Walk to Freedom dalam judul film ini benar-benar menyiratkan
perjalanan panjang seorang anak dari suku daerah terpencil Afrika yang akhirnya
mampu mewujudkan kebebasan kaum kulit hitam dari penindasan dan ketidakadilan
yang dialami selama puluhan tahun. Mereka akhirnya dapat hidup saling
berdampingan bukan memilih membalas dendam atas penderitaan yang bertahun-tahun
dialami.
Nilai moral yang dapat saya petik setelah
melihat kisah ini adalah kerelaan Nelson untuk menghabiskan sebagian besar
hidupnya dalam memperjuangkan keadilan. Ia mengesampingkan kepentingan
pribadinya demi kepentingan seluruh rakyat di Afrika Selatan. Walaupun
kenyataan-kenyataan pahit harus ia alami sepanjang berjuang menegakkan anti
apartheid namun ia tak pernah mengurungkan niatnya. Menurut saya, ia merupakan
sosok yang mengagumkan. Membayangkan harus berpisah dengan pasangan yang sangat
dicintainya, tak mampu melihat pertumbuhan anak-anaknya dan mendapat siksaan
yang kejam pasti merupakan hal yang sangat berat untuk diterima. Akan tetapi
Nelson begitu juga dengan kawan-kawannya tidak berbalik membenci dan
menyayangkan tindakan yang pernah mereka lakukan. Mereka bertekad tak akan
pernah berhenti menjalankan misi mulia itu. Hingga pada akhirnya impian mereka
tercapai. Buah hasil yang akhirnya Nelson dan kawan-kawannya petik tidak
mendustai perjuangan panjang yang telah mereka lakukan. Keadilan telah
ditegakkan di tanah Afrika Selatan. Amandla (power)! Awethu!