Dari Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dapat
ditemukan kata “asas kekeluargaan”, namun meskipun disusun UUD yang
menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan,
apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu
bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek. Saya
rasa dalam prakteknya saat ini, kata “kekeluargaan” belum benar-benar
menjadi asas pedoman bangsa. Masyarakat
Indonesia telah berubah total, karena sistem ekonomi industri yang
diadopsi menyebabkan tatanan sosial beradaptasi dengan asumsi-asumsi
ekonomi yang dibutuhkan, dimana masyarakat berubah menjadi lebih
individual. Masyarakat lebih peduli akan dirinya sendiri dan pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan”.
Sesuai
dengan bunyi ayat kedua mengenai penguasaan cabang produksi penting oleh
negara demi kepentingan rakyat dan menelusuri bunyi ayat ketiga
mengenai penguasaan penuh negara atas kekayaan alam demi kemakmuran
bangsanya, saya rasa kedua ayat dalam pasal ini belum bisa
direalisasikan dengan sempurna. Menurut informasi yang saya dapat, dalam
hal pelaksanaan, keduanya masih menemui berbagai hambatan. Misalnya
dalam kasus dikeluarkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang
Migas yang meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari
sektor hulu hingga sektor hilir. Tentu hal ini sangat mengganggu
regulasi minyak dan gas kita karena setelah UU itu disahkan sebab
korporasi asing semakin leluasa menguasai bisnis migas di negeri kita.
Memang dalam pasal 9 ayat 2 telah disebutkan bahwa Bentuk Usaha Tetap
hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu (Pasal 1 ayat 18: Bentuk Usaha
Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar
wilayah NKRI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Akan tetapi, korporasi asing itu bisa saja mendirikan anak
perusahaan di sini dengan menjadikannya badan hukum. Kenyataannya memang
Mahkamah Konstitusi telah beraksi cepat untuk mengamankan konstitusi
kita. UU Migas yang menyalahi perundangan yang diatasnya ini telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun kita tetaplah dirugikan
karena faktanya walaupun UU ini dibatalkan, perusahaan asing sempat
memenangkan Exxon untuk mengelola Blok Cepu. Salah satu kekayaan alam
kita akhirnya berhasil diambil alih oleh pihak asing.
Terjadi
erosi pada makna pasal 33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan
orang banyak. Contoh nyata dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi HPH di Indonesia yang didominasi
hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Karena monopoli kegiatan
pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para
pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan
ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok
Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang
membekukan hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Padahal dari tahun ke
tahun dan dari generasi ke generasi, masyarakat sangat bergantung pada
prospek penjualan kayu tersebut.
Menelisik
kasus-kasus dia atas bukankah berarti telah terjadi ketidaksepahaman
antar UU yang ada di negara kita. UUD Pasal 33 pada hakekatnya memang
sudah benar namun UU berikutnya yang kemudian muncul justru seolah
menjadi bumerang bagi UU sebelumnya. Saat ini bukan waktunya untuk
menentukan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab, namun
saat ini adalah waktu kita untuk bersama memperbaiki diri. UUD pasal 33
memang belum dapat dilaksanakan seperti bagaimana mestinya. Maka dari
itu, setidaknya mulailah dari diri kita sendiri untuk berusaha
menegakkan isi dari ayat-ayat yang tertulis dalam pasal 33 UUD 1945.