Oleh: Nur Mazhariya U, Yovita Indriya/ Vindiasari Yunizha
Seiring
berjalannya waktu, memiliki pasangan menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan
mahasiswa. Mereka yang jomblo dijadikan bahan sindiran. Lantas, apa yang salah
dengan jomblo?
Istilah jomblo mulai akrab di telinga kita sejak awal tahun 2000-an.
Istilah ini merujuk pada seseorang yang tidak memiliki pasangan atau tengah
berusaha memperolehnya. Beragam stigma negatif muncul terkait fenomena jomblo.
Akhirnya ‘dia’ yang jomblo sering merasa tersudutkan dan merasa tidak laku.
Stigma negatif
Kisah percintaan menjadi warna
tersendiri di kehidupan kawula muda. Umumnya pada masa tersebut, mereka tengah mengalami
proses pendewasaan, baik dalam fisik, pikiran, maupun perasaan. Pada usia tersebut, anak muda atau mengambil contoh
dekat yaitu mahasiswa mulai memiliki kebebasan untuk menentukan jalinan asmaranya. Apakah mereka akan mulai memiliki seorang kekasih atau tidak?
Keputusan yang diambil
mahasiswa mengenai status hubungannya, mulai menjadi perbincangan. Memiliki
kekasih bukan menjadi pilihan, melainkan suatu ‘kewajiban’ di kalangan mahasiswa. Dewasa ini, menyandang status jomblo menjadi dilema
tersendiri bagi mahasiswa. Hal ini dikarenakan jomblo
sering kali dikonotasikan sebagai suatu hal
yang negatif, seperti galau, tidak keren, kesepian bahkan tidak hebat. “Sebenarnya sih nggak masalah jomblo atau tidak, cuma mungkin kalau dari sisi negatifnya,
kadang ada rasa gengsi kalo kumpul ama temen-temen,” ujar Matheus Ludfi (Teknik Fisika’13). Namun demikian
menutut Matheus menjadi masalah selama tidak mengurangi semangat.
Pengaruh media
Menurut Prof Dr Tina
Afiatin Msi Psi, selaku Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, pandangan negatif tadi disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor
internal berasal dari diri sendiri sementara faktor eksternal berasal dari lingkungan. Faktor
internal merupakan pandangan seseorang menilai dirinya sendiri. “Bagi yang menyadang status jomblo,
mereka akan merasa minder pada dirinya sendiri. Biasanya mereka akan merasa
tidak rupawan, tidak cantik, atau tidak populer,” jelas Tina. Jika persoalan
ini berkepanjangan maka hal itu dapat menghambat pergaulan mereka.
Sedangkan faktor eksternal merupakan cara pandang orang lain maupun media terhadap para jomblo. Saat ini, media gencar menginformasikan pemberitaan yang
mempengaruhi cara pikir masyarakat. “Tak sedikit media menyajikan berita maupun
hiburan yang memberikan citra buruk pada para jomblo. Misalnya, sinetron yang
mengusung tema percintaan. Dalam sinetron tersebut diceritakan bahwa mereka
yang memiliki kekasih adalah orang yang populer dan rupawan sementara yang
tidak mendapatkan kekasih adalah orang yang payah,” ujar Tina. Hal-hal tersebutlah yang membuat predikat ‘jomblo’ banyak dikonototasikan dengan hal-hal
yang negatif.
“Propaganda dari TV,
iklan,
media sosial mengubah cara berpikir masyarakat menjadi cara berpikir
hedonis yang hanya mencari kesenangan. Hal itu, merupakan salah satu faktor
yang mengubah pemikiran secara tidak langsung,” tambahnya.
Terdapat beberapa cara
yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak psikis akibat fenomena jomblo ini.
Diantaranya melalui dukungan keluarga dan menyibukkan diri dengan hal-hal
positif. Namun, jika dampak yang dirasa makin parah, Tina menyarankan untuk konseling.
Predikat seorang jomblo tak selamanya negatif, presepsi kembali ke pribadi
masing-masing. Sebagai kawula muda, wajar bila kita mendambakan seorang
pasangan. Mahasiswa memiliki kewajiban yang lebih besar, yaitu kewajiban pada
pendidikan saat ini. “Ya menurutku sih penting-nggak penting
status jomblo itu. Kadang jomblo bisa merasa kesepian, tapi kadang juga jadi buat kita lebih fokus belajar,” pungkas Efrem Deardo (Teknik Fisika’13).
nb: ilustrasi oleh Nelly Ifada wks ^^
nb: ilustrasi oleh Nelly Ifada wks ^^