Bapak saya
bernama Muh Aslam dan ibu saya bernama Rohmah. Jika ditanya mengenai sejauh
mana kedekatan saya dengan mereka, jujur saya agak bingung untuk mulai
menjelaskannya. Akan tetapi, satu hal yang saya yakini bahwa saya sangat
bersyukur menjadi anak kandung mereka.
Muh Aslam
adalah seseorang yang selama 17 tahun ini saya panggil dengan sebutan “Bapak”.
Menurut saya, beliau bukan hanya memerankan figur seorang bapak akan tetapi
beliau juga merangkap posisi sebagai seorang sahabat. Beliau memang cenderung
memiliki cara yang “keras” dalam mendidik anak-anaknya. “Keras” dalam hal ini
bukan berarti menggunakan kekuatan fisik akan tetapi ketegasan yang dilandasi
dengan komitmen kuat. Walaupun bapak adalah pribadi yang keras tapi beliau juga
punya sisi lembut layaknya seorang ibu. Dari luar memang bapak kelihatan
seperti acuh tak acuh akan tetapi sebenarnya beliau peduli dan memikirkan
segalanya. Ya menurut saya, bapak adalah orang tua yang unik. Suatu ketika saya
bisa tertawa terkekeh mendengar guyonan beliau namun di waktu yang berbeda,
saya bisa menangis tersedu melihat ketulusan sikap beliau.
Saya dan
bapak sering mengalami beda pendapat. Sewaktu kelas X, saya berkeinginan mengambil
program studi ilmu sosial sebagai langkah lanjutan saya. Akan tetapi keputusan
tersebut ditolak oleh bapak saya. Saya bahkan sampai harus berganti angket
pilhan jurusan sebanyak tiga kali karena bapak saya tetap tak mau
menandatanginya. Bapak ingin saya melanjutkan ke program studi ilmu alam karena
“konon” akan lebih gampang ketika akan masuk bangku perkuliahan. Sempat
tersirat di pikiran saya bahwa keputusan bapak itu benar-benar tidak adil.
Dalam hal ini, saya lah yang akan menjalani semuanya dan seharusnya saya lah
yang punya hak untuk memilih. Dan akhirnya keputusan yang saya ambil adalah melingkari
tulisan “Ilmu Pengetahuan Alam” yang ada
di angket. Saya pasrah. Baiklah, asalkan orang tua senang. Tantangan
selanjutnya yang harus saya hadapi adalah pelajaran fisika karena saya benar-benar
tidak menyukai pelajaran tersebut, Di sisi lain, saya harus mendapatkan skor
yang tinggi untuk mendongkrak nilai semester awal ipa saya yang rendah.
Lucunya, belajar fisika membuat saya sampai menitikkan air mata. Memang alay.
Singkat cerita, alhamdulillah saya bisa masuk program studi IPA. Saya ingat
betul betapa bahagia dan leganya saya saat mendapat kabar itu. Saya tak sabar
memberitahu bapak. BE, THAT’S WHAT YOU WANT! Terkadang memang saya tak sengaja
memanggil Bapak dengan “Babe.” Kisah itu terulang kembali ketika saya menginjak
kelas XII namun dalam konteks yang berbeda. Kala itu mengenai jurusan yang akan
saya ambil di perkuliahan. Pola pikir saya berubah. Menurut saya, anak IPA ya
seharusnya memilih jurusan yang berbau IPA. Awal kelas XI, saya memang tertarik
untuk terjun di bidang desain. Arsitektur. Jurusan itu yang selama hampir
setahun terngiang di pikiran saya. Saya pun juga sudah membuka hati terhadap
pelajaran fisika. Namun bapak tetap ingin anaknya memilih jurusan ekonomi.
Memang terdengar aneh. Dulu saya dipaksa untuk masuk IPA dan sebaliknya saat
itu saya disuruh untuk memilih bidang ekonomi di perkuliahan. Tentu semuanya
bukan tanpa alasan. Saya kembali menuruti keinginan orang tua dengan memilih
program studi Manajemen sebagai pilihan pertama dan saya menyisipkan program
studi Arsitektur untuk pilihan kedua. Singkat cerita, saya tak lolos dalam
keduanya namun saat ini saya bersyukur telah menjadi mahasiswi Manajemen UNY.
Cerita ini sudah saya ceritakan berulang kali dan banyak teman-teman saya
berpendapat bahwa bapak saya terlalu otoriter. MAY BE YES. Akan tetapi justru
karena hal ini, saya memperoleh banyak pelajaran hidup. Nilai yang saya ambil
ketika saya dapat membahagiakan orang lain ternyata lebih berarti daripada
ketika saya bersihkeras memenuhi ego pribadi. Saya pernah mendengar ungkapan
bahwa ridha Allah adalah ridha orang tua. Saya kira saya akan down ketika benar-benar harus menjalani
kelas IPA murni akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Saya yakin lantaran
ridha dari orang tua saya maka Allah ridha sehingga jalan saya pun dipermudah. THANKS,
BE! YOU MAKE MY LIFE SO COLORFUL!
Bapak
mengajarkan saya bagaimana menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat, membuat
manajemen waktu yang baik, membeli barang sesuai kebutuhan, menahan emosi,
bersikap rendah hati, memberi kepada orang yang membutuhkan dan banyak hal lain
yang tak cukup untuk saya tulis satu per satu. Hmm menyinggung masalah
kedekatan, ibu saya sendiri pernah berkata bahwa saya lebih dekat dengan bapak
daripada ibu saya. Saya bangga mempunyai bapak seperti Muh Aslam. HE IS BEST
FATHER IN THE WORLD! Saya sangat menyayangi beliau dan saya yakin rasa sayang
beliau juga berlipat untuk saya. Saya berharap bisa membahagiakan beliau suatu
hari nanti. Semoga beliau bisa menemani saya di sepanjang sisa hidup saya.
BABE, LOVE YOU! <3
Jujur sebelum
saya menulis paragraf baru, air mata saya sudah datang mendahuluinya. Rohmah, wanita
yang dengan sabar selama sembilan bulan mengandung saya. Di mata saya, Ibu
adalah pribadi yang sangat penyayang dan penyabar. Disisi lain, Ibu saya adalah
seseorang yang lebih meninggikan kedudukan akhirat dibanding urusan duniawi. Jika
saya dan bapak sering berbeda pendapat mengenai masalah akademik maka
berbanding terbalik dengan ibu, saya dan ibu lebih sering berdebat mengenai
urusan yang berhubungan dengan agama. Sewaktu saya masih SMP, saya belajar
mengaji di suatu pondok pesantren. Waktu itu saya agak kewalahan menjalani
rutinitas harian saya. Saya harus berangkat sekolah pukul 7 pagi dan pulang hingga
pukul 3 sore. Setelah itu, pukul 4 saya harus berangkat ke pondok pesantren dan
baru pulang selepas maghrib. Saya pulang ke rumah dengan setumpuk tugas sekolah
yang sudah menanti. Beberapa kali saya sempat memutuskan untuk bolos mengaji
karena saya pikir mengaji tak harus datang ke Pondok Pesantren, di rumah pun
saya tetap bisa mengaji. Ya bedanya ketika di pondok akan diberi pelajaran
mengenai kitab-kitab juga. Hingga akhirnya ibu menegur perilaku saya, “Semua
yang kamu pelajari di sekolah itu tidak akan ditanyakan oleh Allah di akhirat
nanti. Jika kamu hanya mementingkan sekolahmu, Ibu nggak ridha, dek.” Akhirnya
saya kembali mengikuti kegiatan mengaji di Pondok Pesantren hingga saya ujian
dan khatam pada tahun 2010 bersamaan dengan lulusnya saya dari jenjang SMP. Ya
walaupun dengan nilai ujian pondok yang pas-pasan tapi tetap saya syukuri.
Alhamdulillah.
Ibu adalah
orang yang kurang setuju saat saya berniat untuk lanjut kuliah setelah lulus
SMA. Sewaktu saya diterima di program diploma salah satu universitas di
Yogyakarta, ibu berkata bahwa sebenarnya ibu tidak setuju melepaskan saya untuk
kuliah. Sebenarnya ibu tak sengaja berkata demikian karena takut memberatkan
hati saya karena ibu mengira saya akan mengambil kesempatan itu. Akhirnya sewaktu
saya diterima di UNY, ibu memberi ijin. Mungkin karena saat itu juga ibu telah
melihat kesungguhan saya untuk kuliah. Ibu berkata, “Ibu ikhlas kamu kuliah
tapi kamu juga harus mondok. Ibu nggak ridha kalau kamu hanya mengejar duniamu
saja. Kalau kamu nggak mondok mending kamu nggak usah kuliah.” Deg. “Mondok?
Nggak mau!” Saya kurang sependapat dengan hal itu. Oke, saya memang tak boleh
melupakan urusan akhirat saya akan tetapi mondok bukan jalan satu-satunya. Saya
masih bisa ngaji “nglaju” atau apalah. Tak harus mondok. Akan tetapi setelah
saya pertimbangkan akhirnya saya menyetujuinya. Awalnya memang sungguh berat
ketika membayangkan harus berbagi kamar dengan beberapa orang, kehilangan
privasi untuk ini itu dan belajar dua kali lipat dibanding teman-teman yang
hidup di kos. Saya agak setengah hati memutuskannya. Saya hanya mengharap ridha
kedua orang tua saya. InsyaAllah.
Sekarang
seiring berjalannya hari-hari saya di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, justru
pemikiran saya berubah. Ya awalnya saya akui memang berat akan tetapi semuanya
membutuhkan proses. Menginjak hampir tiga bulan ini, saya merasa nyaman dan
bersyukur dengan keputusan yang saya ambil. Saya tak salah mengambil keputusan.
Disini saya mendapatkan teman-teman yang baik dan saling peduli satu sama lain.
Walaupun kita dituntut untuk saling “berbagi” akan tetapi saya mulai merasakan
indahnya “berbagi” itu. Saya sangat senang bisa menjalankan urusan dunia dan
akhirat secara beriringan. THANKS FOR YOUR BRILLIANT IDEA, BUK!
Saya sempat
menangis ketika beberapa minggu lalu menelpon orang tua saya. Saat itu ibu bercerita
bahwa selama saya tinggal di Jogja, waktu satu bulan itu sangat lama bagi
beliau. Biasanya ibu memang tak pernah memikirkan masalah tanggal, hari bahkan
bulan. Konsekuensi tinggal di pondok pesantren memang tata tertib yang mengatur
santrinya untuk pulang ke rumah hanya sebulan sekali saja. Ibu sangat ingin
mengatakan bahwa beliau “kangen” akan tetapi beliau tak mau membuat anaknya
kepikiran. Betapa sakitnya saya ketika mendengar hal itu karena di sini saya
pun merasakan kerinduan yang sama. MISS YOU, BUK!
Saat ini,
memang secara jarak, saya terpisah berpuluh-puluh kilometer dengan orang tua
saya. Akan tetapi saya yakin doa mereka selalu menyertai saya dimanapun dan
kapanpun. Saya bangga dan bersyukur
menjadi anak dari Muh Aslam dan Rohmah. Saya tak pernah menyesali setiap
langkah yang saya ambil selama ini karena semuanya dilandasi ridha orang tua
saya. Dan memang benar bahwa semua yang disertai ridha mereka, InsyaAllah
dimudahkan oleh Allah. Beberapa hari lalu, saya mengikuti kegiatan FISKAL UKMF
Al-Fatih dan dari situ saya menemukan pendapat yang sepaham dari Kak Afri
(narasumber pada acara tersebut) bahwa setiap pilihan yang kita ambil memang
harus disertai ridha orang tua. Jika orang tua tak ridha maka tinggalkan
pilihan kita. InsyaAllah ridha orang tua akan mendatangkan ridha Allah. PAK,
BUK, TERIMA KASIH! SEMOGA BAPAK IBUK JUGA BANGGA PUNYA ANAK SEPERTI AKU! <3