Sebenarnya cerpen ini hasil revisi dari cerpen yang sebelumnya - Kisah Cinta yang Tertunda - hehe
Happy Reading! ^^
Kutaburkan
bunga melati yang masih segar diatas gundukan tanah itu. Sesekali kucabuti
rumput-rumput liar yang tumbuh subur disekitarnya. Kupandangi sejenak batu
nisan yang tepat berada disampingku itu. Aku terdiam. Semua bagai tamparan ribuan
peluru yang seketika menghujam. Aku berharap waktu berhenti
sekarang juga. Lalu kupejamkan mata, mencoba memutar ulang kenangan yang
menyayat hati, dimana sebuah penyesalan terajut rapi bagai kisah ironi.
Semua
berawal dari keputusanku untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Sebenarnya itu
bukan murni keinginanku. Sesungguhnya cita-cita yang kuimpikan sejak dulu
adalah melanjutkan studi ke Paris bukan Bandung. Akan tetapi semua kandas
ketika tes TOEFLku yang lagi-lagi gagal. Yasudahlah, mungkin ini sudah pilihan
Tuhan.
Aku lari tergopoh-gopoh. Aku
bangun kesiangan. Hah, ternyata tinggal berpisah dengan orang tua tak semudah
yang kukira. Cuci baju sendiri, masak sendiri dan tidur juga sendiri. Sudah
seperti bait lagu saja. Padahal hari ini hari pertama ospek. Aku pasti akan
jadi sasaran empuk senior pagi ini. Benar saja, sesampainya di kampus, aku
langsung kena semprot Kak Arsi, senior yang terkenal paling ganas kala itu.
Akan tetapi, sewaktu Kak Arsi tengah asyik memarahiku, tiba-tiba datang senior
lain menghampiri kami. Perawakannya tinggi semampai, rambutnya ikal dan
wajahnya pun tampan layaknya artis-artis korea di tv. “Ar, kamu dipanggil sama
Pak Bambang tuh!” ucap pria itu sambil ngos-ngosan. Kak Arsi langsung bergegas
pergi. “Akhirnya kamu bebas juga, Arsi itu kalau nggak distop kayak barusan, dia nggak bakal berhenti, percaya deh!”
ujarnya. “Makasih ya, Kak” ucapku malu-malu. Saat itu aku merasa bagaikan putri
yang hampir celaka dimakan serigala namun akhirnya berhasil diselamatkan oleh
pangeran berkuda putih di cerita dongeng. Kemudian kami pun berkenalan.
Ternyata dia bernama Reyhan.
Setelah enam hari lamanya bergelut
dengan tugas-tugas ospek, akhirnya sampailah di hari terakhir. Kali ini tugas
yang diberikan cukup menggalaukan yaitu membuat surat cinta. Mending kalau
hanya disuruh menulis tapi kali ini surat itu juga harus dibacakan didepan
umum. Pasti sungguh memalukan. “Aduh, bikin surat buat siapa ya? Masak dia
sih?” ucapku lirih. Berhubung waktunya sangat mepet, akhirnya aku memutuskan
menulis surat cinta untuknya, Reyhan. Lagi-lagi aku jadi sasaran empuk Kak Arsi.
Aku mendapat giliran pertama. Saat itu, Kak Reyhan tepat berdiri disampingnya. Perlahan
tapi pasti, aku membacakan surat cintaku dari awal hingga akhir. Sontak, para
senior dan teman-teman tertawa dan menyoraki kami berdua. Kak Reyhan yang
berdiri dihadapanku justru tak sedikitpun terlihat risih mendengar setiap kata
yang kuucapkan tadi. Dia membalas dengan senyuman manis. Jantungku berdegup
kencang. Mungkin aku jatuh cinta.
Semenjak incident surat cinta, hubunganku dan Kak Reyhan justru semakin
dekat, mungkin karena teman-teman kami yang sering menjodoh-jodohkan kami
berdua. Hingga akhirnya tepat di hari ulang tahunku, Kak Reyhan menyatakan perasaannya
padaku. Dia memberiku sepucuk surat. Dia bilang itu balasan dari surat cintaku
saat ospek lalu. Aku pun tersipu malu.
Akhirnya kami memulai cerita cinta ini.
Empat tahun berlalu, aku sudah
lulus dari jenjang S1ku. Aku berniat meraih kembali impian yang tertunda
beberapa tahun lalu. Ya, S2 di Paris. Kak Reyhan yang saat itu sudah menjadi
manager perusahaan ternama di Bandung, juga memberi dukungan penuh pada
keputusanku. Aku belajar mati-matian. Syukurlah, aku berhasil lolos. Aku sangat
senang bukan kepayang. Kak Reyhan mengadakan pesta kecil-kecilan untuk
merayakan keberhasilanku. Ya hanya kami berdua. Malam itu terasa sangat
mengasyikkan hingga membuat kami lupa diri. Kami “kebablasan”. Entah setan apa
yang merasuki kami. Kami melakukan sesuatu yang tak seharusnya kami lakukan. Bahagiaku
berubah menjadi tangis. “A.. aku, aku hamil!” tangisku ketika melihat dua garis
merah yang nampak jelas muncul pada testpeck yang kupegang seminggu setelah kejadian itu.
Hampir satu minggu aku mengurung
diri di kamar. Aku belum siap menghadapi kenyataan pahit ini. Setiap malam, aku
hanya bisa menangis. Aku takut, bahkan untuk memberitahukannya pada Kak Reyhan.
Aku sering melihat di tv, banyak laki-laki yang mencampakan pacarnya setelah
mengetahui bahwa dia hamil. Aku khawatir Kak Reyhan termasuk salah satunya.
Akhirnya kuambil gunting di laci meja belajarku. Tiba-tiba seseorang mengetuk
pintu kamarku. Aku tak menghiraukannya, aku tetap mantap mengarahkan pisau itu
ke urat nadiku. Seketika aku tercengang saat mendengar suara tak asing dari
balik pintu. “Nan, buka pintunya dong! Kamu kenapa sih? Ditelpon nggak pernah
ngangkat, sms juga nggak dibales!” teriak Kak Reyhan sambil terus berusaha
menggerak-gerakkan gagang pintu. Satu-persatu air mataku mulai berjatuhan.
“Kalau kamu lagi ada masalah, cerita sama aku! Jangan nyiksa diri kayak gini,
Nan! Aku ini pacar kamu!” ucapnya halus. Tidak. Aku tidak boleh lari dari masalah.
Aku juga tak boleh membunuh janin tak berdosa ini. Aku tak boleh mati. Jika aku
bunuh diri, S2 ku juga akan sia-sia. Orangtuaku pasti juga akan sedih ditinggal
anak sematawayangnya. Sejenak aku tersadar. Pikiranku kembali waras. Aku langsung melepaskan gunting
yang sedari tadi tergenggam erat di tangan. Kak Reyhan akhirnya memutuskan untuk
mendobrak pintu yang terkunci itu. Dia sangat terkejut melihat keadaanku yang tampak
tak berdaya. Dia langsung memelukku dan bertanya apa masalah yang sebenarnya sedang
terjadi. Lalu aku menyodorkan sesuatu. “Ka…kamu hamil?” ucapnya terkejut ketika
melihat sebuah testpeck di tangannya.
Kemudian dia langsung menggenggam tanganku sangat kuat. “Maafkan aku tapi tak
seharusnya kau menanggung beban ini sendirian. Aku akan bertanggung jawab. Aku janji.”
ucapnya tegas. Dia kembali mendekap tubuhku, kali ini begitu erat sambil
berkata “Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, Nan” Sepanjang malam, ia
terus mengucapkan kata-kata itu. Hingga akhirnya aku terlelap didalam dekap
hangatnya.
Tak perlu pikir panjang, pagi
harinya Kak Reyhan langsung mengajakku ke Semarang untuk menemui kedua
orangtuanya. “Nak, habis ini kita mau sowan
ke rumah eyang. Kamu pasti udah nggak sabar kan?” ujarnya sambil mengusap-usap
perutku. Sebutir air mata pun kembali jatuh. Namun kali ini adalah air mata bahagia.
Sampailah kami di sebuah rumah
sederhana. Kak Reyhan menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Tak kusangka,
aku disambut baik oleh keluarga Kak Reyhan. Kami duduk di sebuah kursi tua.
Kami asyik berbincang-bincang. Suasana kekeluargaan sangat erat melekat di
ruangan itu. Akan tetapi, atmosfer ruangan itu tiba-tiba berubah saat aku mulai
menceritakan latarbelakang keluargaku. Entah mengapa, saat mendengar nama kedua
orangtuaku, orangtua Kak Reyhan tampak sangat terkejut. Mereka saling memandang
dan wajah mereka terlihat sangat pucat. Ucapanku seolah seperti kilatan petir
yang menyambar. Gerak-gerik mereka menjadi aneh. Ayah Kak Reyhan langsung
menarik tangan istrinya dan mengajaknya kebelakang. Aku dan Kak Reyhan hanya
bisa memasang ekspresi orang bingung.
Beberapa menit kemudian, mereka
kembali menemui kami. Akhirnya tanpa basa-basi lagi Kak Reyhan mulai
menceritakan masalah yang menimpa kami. Jujur tentang kehamilanku dan niatnya
untuk segera menikahiku sebelum kami berangkat ke Paris. Mendengar penjelasan dari anaknya, mereka
seolah tersambar petir untuk kedua kalinya. Ayah Kak Reyhan langsung terjatuh
ke lantai dan terbujur kaku. Kurasa beliau terkena serangan jantung. Kami
langsung buru-buru membawa beliau ke Puskesmas terdekat. Sepanjang perjalanan
menuju Puskesmas, lagi-lagi aku kembali menitikkan air mata.
Aku cemas. Aku takut sesuatu yang
buruk akan menimpa calon mertuaku. Setelah lama menunggu, akhirnya Ayah Kak
Reyhan siuman. Lalu Ayah Kak Reyhan dipindahkan dari ruang UGD ke kamar rawat
pasien. Atas permintaan Ayah Kak Reyhan, Suster jaga mempersilakan Kak Reyhan
untuk masuk ke kamar beliau. Disisi lain, aku hanya bisa duduk termangu di
ruang tunggu. Hampir satu jam, Kak Reyhan berada didalam dan tak kunjung
keluar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Aku sudah tak tahan lagi. Aku
pergi menuju ke kamar tempat Ayah Kak Reyhan dirawat. Aku merasa ada sesuatu
yang tak beres. Sampai di tengah koridor, aku melihat Kak Reyhan sedang duduk
di kursi depan kamar Ayahnya dirawat. Dia menangis. Aku belum pernah melihat
dia serapuh itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertanyaan itu kembali
muncul dalam benakku. Lalu aku berjalan ke arahnya.
“Tak mungkin dia adikku! Tak mungkin Kinan adalah adik kandungku sendiri!” ucap Kak Reyhan sambil terus memukulkan kepalanya ke dinding.
“Hah? A…aku…aku adik kandungmu?” ucapku heran.
Kak Reyhan membalikkan badan dan terkejut melihat aku tepat berdiri di belakangnya. Dia langsung meraih pundakku dan memelukku. Namun aku segera melepaskan pelukan itu.
“Aku adikmu? Apa maksudnya semua ini, Kak?” Tetes air mata jatuh untuk kesekian kalinya.
“Tak mungkin dia adikku! Tak mungkin Kinan adalah adik kandungku sendiri!” ucap Kak Reyhan sambil terus memukulkan kepalanya ke dinding.
“Hah? A…aku…aku adik kandungmu?” ucapku heran.
Kak Reyhan membalikkan badan dan terkejut melihat aku tepat berdiri di belakangnya. Dia langsung meraih pundakku dan memelukku. Namun aku segera melepaskan pelukan itu.
“Aku adikmu? Apa maksudnya semua ini, Kak?” Tetes air mata jatuh untuk kesekian kalinya.
Aku membisu, hanya air mata yang
terus mengalir. Kak Reyhan telah membongkar rahasia itu padaku. Aku menyesal
telah bertanya kepadanya. Aku terus berlari entah kemana. Kak Reyhan terus
mengejar langkah kakiku. Lagi-lagi kenyataan itu begitu pahit. Kenyataan bahwa
kekasih yang sangat kucintai adalah Kakak kandungku sendiri. Dia anak yang
dilahirkan Ibuku 27 tahun lalu. Namun akibat persoalan ekonomi yang membelit keluarga
kami, akhirnya orangtuaku merelakan anak semata wayangnya untuk diadopsi salah
seorang sahabat baiknya. Aku tak sanggup sungguh tak sanggup, aku sadar itu
semua akan menjadi penghalang. Aku dan Kak Reyhan tak mungkin melanjutkan cinta
sedarah ini.
“BRAKKK….” Terdengar suara
dibelakangku. Aku menoleh mengikuti
suara itu. Aku sangat terkejut. Kak Reyhan ternyata tertabrak mobil saat hendak
mengejarku, dia terpental sangat jauh. Aku langsung berlari menghampirinya. Tak
kusangka akan seperti ini, aku mendapatinnya sudah terbujur lemah tak berdaya dengan
darah yang terus mengalir dari tubuhnya. Lalu aku menggenggam erat tangannya.
Wajahku penuh air mata.
“A…aku, aku sangat mencintaimu, adikku.”
Itulah kata-kata terakhir yang sempat terucap sebelum ia memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
“A…aku, aku sangat mencintaimu, adikku.”
Itulah kata-kata terakhir yang sempat terucap sebelum ia memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
Tetesan air hujan jatuh membasahi
wajahku. Aku pun terbangun dari lamunan memori masa laluku. “Ma, ayo kita
pulang! Hujan turun, nanti Mama sakit.” Suara itu, ya dia adalah Angela,
anakku. Buah cintaku dan Kak Reyhan. Sekarang dia sudah berumur sebelas tahun.
Dia sangat cantik walaupun salah satu matanya tidak dapat berfungsi alias buta.
Mungkin ini yang namanya karma dari hubungan terlarang saudara kandung. “Ayo,
Ma! Papa sama adik udah nungguin di mobil.” ucapnya sambil menarik tanganku.
Papa? Adik? Ya setelah kepergian Kak Reyhan, aku menemukan pangeran berkuda
putihku yang lain di Paris. Dia adalah Arsi, panitia ospek yang galak itu.
Sesuai dengan namanya, sekarang dia adalah seorang Arsitek terkenal. Dialah
yang selalu menyemangatiku di masa-masa sulitku hingga akhirnya timbul
benih-benih diantara kami. Angelo, dia adalah bukti cinta kami dan sekaligus
anak keduaku. Sekarang tak ada lagi kesedihan, yang ada hanya kebahagiaan yang
terus menyelimuti kami. Aku berharap Kak Reyhan bisa melihat dan ikut senang
dengan kehidupanku saat ini. Semoga dia tenang di alam sana.