Kutaburkan
bunga melati yang masih segar diatas gundukan tanah itu. Sesekali kucabuti
rumput-rumput liar yang tumbuh subur disekitarnya. Kupandangi sejenak batu
nisan yang tepat berada disampingku itu. Aku terdiam. Semua bagai tamparan
ribuan peluru yang seketika menghujam. Aku berharap waktu berhenti
sekarang juga. Lalu kupejamkan mata, mencoba memutar ulang kenangan yang
menyayat hati, dimana sebuah penyesalan terajut rapi bagai kisah ironi.
Semua
berawal dari keputusanku untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Sebenarnya itu
bukan murni pilihanku. Aku terpaksa harus mengikuti kemauan orangtuaku.
Keinginanku yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri ditolak mentah-mentah
oleh mereka. Padahal aku ingin sekali bisa kuliah di Jerman, Perancis atau
Jepang tapi yasudahlah. Akhirnya aku mengubur impianku dalam-dalam. Aku yakin
pilihan orangtuaku ini adalah yang terbaik.
Aku lari tergopoh-gopoh. Aku
bangun kesiangan. Hah, ternyata tinggal berpisah dengan orang tua tak semudah
yang kukira. Cuci baju sendiri, masak sendiri dan tidur juga sendiri. Sudah
seperti bait lagu saja. Padahal hari ini hari pertama ospek. Aku pasti akan
jadi sasaran empuk senior pagi ini. Benar saja, sesampainya di kampus, aku
langsung kena semprot Kak Beni, senior yang terkenal paling ganas kala itu.
Akan tetapi, sewaktu Kak Beni tengah asyik memarahiku, tiba-tiba datang senior
lain menghampiri kami. Perawakannya tinggi semampai, rambutnya ikal dan
wajahnya pun tampan layaknya artis-artis korea di tv. “Ben, kamu dipanggil sama
Pak Bambang tuh!” ucap pria itu sambil ngos-ngosan. Kak Beni langsung bergegas
pergi. “Akhirnya kamu bebas juga, Beni itu kalau nggak distop kayak barusan, dia nggak bakal berhenti, percaya deh!”
ujarnya. “Makasih ya, Kak” ucapku malu-malu. Saat itu aku merasa bagaikan putri
yang hampir celaka dimakan serigala namun akhirnya berhasil diselamatkan oleh
pangeran berkuda putih. Kemudian kami pun berkenalan. Ternyata dia bernama
Reyhan.
Setelah enam hari lamanya bergelut
dengan tugas-tugas ospek, akhirnya sampailah di hari terakhir. Kali ini tugas
yang diberikan cukup menggalaukan yaitu membuat surat cinta. Mending kalau
hanya disuruh menulis tapi kali ini surat itu juga harus dibacakan didepan
umum. Pasti sungguh memalukan. “Aduh, bikin surat buat siapa ya? Masak dia
sih?” ucapku lirih. Berhubung waktunya sangat mepet, akhirnya aku memutuskan
menulis surat cinta untuk Kak Reyhan. Lagi-lagi aku jadi sasaran empuk Kak
Beni. Aku mendapat giliran pertama. Saat itu, Kak Reyhan tepat berdiri disampingnya.
Perlahan tapi pasti, aku membacakan surat cintaku dari awal hingga akhir.
Sontak, para senior dan teman-teman tertawa dan menyoraki kami berdua. Kak
Reyhan yang berdiri dihadapanku justru tak sedikitpun terlihat risih mendengar
setiap kata yang kuucapkan tadi. Dia membalas dengan senyuman manis. Jantungku
berdegup kencang. Mungkin aku jatuh cinta.
Semenjak incident surat cinta, hubunganku dan Kak Reyhan justru semakin
dekat, mungkin karena teman-teman kami yang sering menjodoh-jodohkan kami
berdua. Hingga akhirnya tepat di hari ulang tahunku, Kak Reyhan menyatakan perasaannya padaku. Dia memberiku sepucuk
surat. Dia bilang itu balasan dari surat cintaku saat ospek lalu. Aku pun tersipu malu. Akhirnya kami memulai cerita cinta
ini. Hari demi hari kami lalui layaknya remaja yang sedang dimabuk cinta.
Sampai suatu saat, kami “kebablasan”. Kami khilaf. Kami melakukan sesuatu yang
tak seharusnya kami lakukan. “A.. aku, aku hamil!” tangisku ketika melihat dua garis
merah yang nampak jelas muncul pada testpeck yang kupegang.
Hampir satu minggu aku mengurung
diri di kamar. Aku belum siap menghadapi kenyataan pahit ini. Setiap malam, aku
hanya bisa menangis. Aku takut, bahkan untuk memberitahukannya pada Kak Reyhan.
Aku sering melihat di tv, banyak laki-laki yang mencampakan pacarnya setelah
mengetahui bahwa dia hamil. Aku khawatir Kak Reyhan termasuk salah satunya.
Pada suatu malam, aku sudah bersiap
dengan sebilah pisau di tangan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku
tak menghiraukannya, aku tetap mantap mengarahkan pisau itu ke urat nadiku.
Seketika aku tercengang saat mendengar suara tak asing dari balik pintu. “Nan,
buka pintunya dong! Kamu kenapa sih? Ditelpon nggak pernah ngangkat, nggak
masuk kuliah, sms juga nggak dibales!” teriak Kak Reyhan sambil terus berusaha
menggerak-gerakkan gagang pintu. Air mataku mulai berjatuhan. “Kalau kamu lagi
ada masalah, cerita sama aku! Jangan nyiksa diri kayak gini, Nan! Aku ini pacar
kamu!” ucapnya halus. Tidak. Aku tidak boleh lari dari kenyataan. Aku juga tak
boleh membunuh janin yang tak berdosa ini. Kemudian aku langsung melepaskan
pisau yang sedari tadi tergenggam erat di tangan. Kak Reyhan akhirnya
memutuskan untuk mendobrak pintu yang terkunci itu. Dia sangat terkejut melihat
keadaanku yang tampak tak berdaya. Dia langsung memelukku dan bertanya apa masalah
yang sebenarnya sedang terjadi. Aku harus jujur padanya. Lalu aku menyodorkan
sesuatu. “Ka…kamu hamil?” ucapnya terkejut ketika melihat sebuah testpeck di tangannya. Kemudian dia
langsung menggenggam tanganku sangat kuat. “Maafkan aku tapi tak seharusnya kau
menanggung beban ini sendirian. Aku akan bertanggung jawab. Aku janji.” ucapnya
tegas. Dia kembali mendekap tubuhku, kali ini begitu erat sambil berkata “Kita
akan hadapi masalah ini bersama-sama, Nan” Sepanjang malam, ia terus mengucapkan
kata-kata itu. Hingga akhirnya aku terlelap didalam dekap hangatnya.
Tak perlu pikir panjang, pagi
harinya Kak Reyhan langsung mengajakku ke Semarang untuk menemui kedua
orangtuanya. “Nak, habis ini kita mau sowan
ke rumah eyang. Kamu pasti udah nggak sabar kan?” ujarnya sambil mengelus-elus
perutku. Sebutir air mata pun kembali jatuh. Namun kali ini adalah air mata bahagia.
Sampailah kami di sebuah rumah
sederhana. Kak Reyhan menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Tak kusangka,
aku disambut baik oleh keluarga Kak Reyhan. Kami duduk di sebuah kursi tua.
Kami asyik berbincang-bincang. Suasana kekeluargaan sangat erat melekat di
ruangan itu.
“Oh jadi kamu ini orang Jakarta, Nak?” tanya Ibu Kak Reyhan.
“Iya, Bu. Saya tinggal di daerah Pondok
Indah.” jawabku sambil menganggukkan kepala.
“Wah pasti orangtuamu ini orang kaya ya?”
“Huss, buk, apa-apaan kamu ini!” sela Ayah Kak Reyhan.
“Ah nggak kok, Bu. Ayah saya cuma pekerja di perusahaan tekstil biasa.”
jawabku. “Perusahaan tekstil? Wah dulu Bapak juga bekerja di bidang itu tapi
akhirnya bangkrut karena ditipu orang. Lalu kami pindah ke Semarang.”
“Kalau boleh tahu, siapa nama Ayahmu, Nak? Mungkin saja Bapak kenal.”
“Oh, Ayah saya… Pramono Sugiarto, Pak.” jawabku mantap.
Entah mengapa, saat mendengar nama itu, orangtua Kak Reyhan tampak sangat
terkejut. Mereka saling memandang.
“Ka…kalau Ibumu, Nak?” Ayah Kak Reyhan setengah tergagap.
“Ibu saya…Endah Tri Gunawan, Pak.”
Ucapanku seolah seperti kilatan petir
yang menyambar. Raut wajah orangtua Kak Reyhan seketika berubah. Mereka tampak
aneh. Ayah Kak Reyhan langsung menarik tangan istrinya dan mengajaknya kebelakang.
Aku dan Kak Reyhan hanya bisa memasang ekspresi orang bingung.
Beberapa menit kemudian, mereka
kembali menemui kami. Akhirnya tanpa basa-basi lagi Kak Reyhan mulai
menceritakan masalah yang sedang kami hadapi. Mendengar penjelasan dari
anaknya, mereka seolah seperti tersambar petir untuk kedua kalinya. Ayah Kak
Reyhan langsung terjatuh ke lantai dan terbujur kaku. Beliau terkena serangan
jantung. Kami langsung buru-buru membawa beliau ke Puskesmas terdekat.
Sepanjang perjalanan menuju Puskesmas, lagi-lagi aku kembali menitikkan air
mata. Melihat kondisi Ayah Kak Reyhan, aku tak sanggup membayangkan reaksi apa
yang akan muncul dari orangtuaku sendiri saat mengetahui masalah yang sedang
menimpa anaknya.
Aku cemas. Aku takut sesuatu yang
buruk akan menimpa calon mertuaku. Setelah lama menunggu, akhirnya Ayah Kak
Reyhan siuman. Atas permintaan Ayah Kak Reyhan, Suster jaga mempersilakan Kak
Reyhan untuk masuk ke kamar beliau. Aku hanya bisa duduk termangu di ruang
tunggu. Hampir satu jam, Kak Reyhan berada didalam dan tak kunjung keluar. Apa
yang sebenarnya sedang terjadi?
Aku sudah tak tahan lagi. Aku
pergi menuju ke kamar tempat Ayah Kak Reyhan dirawat. Aku merasa ada sesuatu
yang tak beres. Sampai di tengah koridor, aku melihat Kak Reyhan duduk di kursi
depan kamar Ayahnya dirawat. Dia menangis. Aku belum pernah melihat dia serapuh
itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertanyaan itu kembali muncul dalam
benakku. Lalu aku datang menghampirinya.
“Tak mungkin dia adikku! Tak mungkin Kinan adalah adik kandungku sendiri!” ucap
Kak Reyhan sambil terus memukulkan kepalanya ke dinding.
“Hah? A…aku…aku adik kandungmu?” ucapku heran.
Kak Reyhan membalikkan badan dan terkejut melihat aku tepat berdiri di belakangnya. Dia langsung
meraih tubuhku dan memelukku. Namun aku segera melepaskan pelukan itu.
“Aku adikmu? Apa maksudnya semua ini, Kak?” Setetes air mata jatuh untuk
kesekian kalinya.
Aku membisu, hanya air mata yang
terus mengalir. Kak Reyhan telah membongkar rahasia itu padaku. Aku menyesal
telah bertanya kepadanya. Aku terus berlari entah kemana. Kak Reyhan terus
mengejar langkah kakiku. Lagi-lagi kenyataan itu begitu pahit. Kenyataan bahwa
kekasih yang sangat kucintai adalah Kakak kandungku sendiri. Dia anak yang
dilahirkan Ibuku 21 tahun lalu. Namun akibat persoalan ekonomi yang membelit keluarga
kami akhirnya orangtuaku merelakan anak semata wayangnya untuk diadopsi salah
seorang sahabat baiknya. Aku tak sanggup sungguh tak sanggup, aku sadar itu
semua akan menjadi penghalang. Aku dan Kak Reyhan takkan pernah bisa bersatu.
“BRAKKK….” Terdengar suara
dibelakangku. Aku menoleh mengikuti
suara itu. Aku sangat terkejut. Kak Reyhan ternyata tertabrak mobil saat hendak
mengejarku, dia terpental sangat jauh. Aku langsung berlari kearahnya. Aku
mendapatinnya sudah terbujur lemah tak berdaya dengan darah yang terus mengalir
dari tubuhnya. Aku menggenggam erat tangannya. Wajahku penuh air mata.
“A…aku, aku sangat mencintaimu, adikku.”
Itulah kata-kata terakhir yang sempat terucap sebelum ia memejamkan matanya
untuk selama-lamanya.
Tetesan air hujan jatuh membasahi
wajahku. Aku pun terbangun dari lamunan memori masa laluku. “Ma, ayo kita
pulang! Kakek dan nenek sudah menunggu di mobil.” Suara itu, dia adalah Ruben,
anakku. Buah cintaku dan Kak Reyhan. Sekarang dia sudah berumur tujuh tahun.
Dia sangat tampan sama seperti pangeran berkuda putihku. Perlahan, aku dan
Ruben melangkah pergi. Aku menggenggam erat tangannya, membayangkan sosok Kak
Reyhan juga berada diantara kami. “Walaupun kau telah pergi meninggalkanku,
kisah cinta ini belum berakhir. Ini hanyalah kisah cinta yang tertunda.”